Pembantaian Para Kiai oleh PKI Madiun 1948 - POJOKCERITA

Saturday, October 7, 2017

Pembantaian Para Kiai oleh PKI Madiun 1948

Dalam buku "Benturan NU-PKI 1948-1965" yang disusun oleh Team PBNU tahun 2013, diceritakan rangkaian peristiwa panjang sejak 1926 ketika PKI mulai melakukan pemberontakan, termasuk kejadian di Madiun pada tahun 1948 yang banyak menelan korban jiwa dari kalangan ulama, kiai, dan santri.

Daerah Madiun dan sekitarnya, seperti Pacitan, Trenggalek, Tulungangung, Ngawi, Boyolali, Porwodadi, Bojonegoro hingga Pati, terus melingkar sampai Magelang, Klaten, Solo, dan Wonogiri, merupakan basis pengembangan PKI. Madiun menjadi titik pusat dari daerah itu sehingga aktivitas PKI dipusatkan di sana dengan disangga oleh daerah sekitarnya yang sudah sangat kuat komunisnya baik karena sukarela atau karena dipaksa.

Dengan posisi strategis semacam itu maka Ibukota RI, Yogyakarta, secara geografis telah terkepung oleh PKI. Selain itu, Madiun juga memiliki posisi strategis untuk meloncat ke Yogyakarta sebagai ibukota negara saat itu. Dengan demikian PKI bisa menguasasi Indonesia dalam waktu cepat.

Dengan kerja yang keras dan sistematis, maka memasuki tahun 1947 konsolidasi PKI sudah nyaris merata, kepengurusan partai sudah menjangkau daerah pedalaman sehingga berbagai manuver sudah mulai mereka lakukan.

Dengan semangat yang progresif dan revolusioner, PKI berhasil merekrut berbagai kalangan, baik kalangan buruh, kalangan petani yang dijanjikan tanah garapan, para birokrat, termasuk kalangan tentara. Para guru juga sudah mulai banyak dipengaruhi termasuk PGRI. Kalangan para jagoan, baik dari kalangan warok, para pendekar, termasuk para kelompok bajingan segera menjadi bagian penting dari PKI. Bahkan kelompok terakhir itulah yang dijadikan kelompok pemukul lawan.

Untuk membuat kecemasan umum dan disintegrasi sosial, maka PKI mulai melakukan teror dengan memunculkan berbagai perampokan disertai pembunuhan. Jika tindak kriminalitas sebelumnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, perampokan yang dilakukan saat ini dilakukan pada siang hari secara terang-terangan. Para pelakunya juga sudah dikenal oleh masyarakat. Mereka berani melakukan tindakan ini di siang bolong karena merasa ada yang melindungi bahkan ada yang memerintahkan yaitu PKI. Sasaran utama perampokan ini adalah para kiai, ulama atau ustadz, termasuk aparat desa yang belum mau bergabung dengan mereka.

Di semua daerah basis PKI mulai dari Madiun sendiri, Tulungangung, hingga Pati terjadi hal yang sama sehingga menimbulkan keresahan umum. Secara kasat mata, kejadian itu terlihat seperti kriminalitas biasa, tetapi setelah diselidiki oleh para pimpinan Ansor, jelas kelihatan bahwa para warok, pendekar dan bajingan yang melakukan perampokan tersebut adalah anggota PKI yang mendapatkan restu dari pimpinan partai setempat untuk melakukan teror massa. Pada umunmya masyarakat sekitar mengenal siapa dari warga desa yang PKI dan bukan sehingga dengan mudah mengidentifikasi siapa yang melakukan tindak kejahatan.

Situasi makin kacau dan menakutkan. Tiap malam terjadi perampokan dan pencurian disertai penganiayaan dan pembunuhan. Sasarannya orang atau tokoh agama, tokoh Masjumi atau tokoh NU dan orang kaya yang sudah naik haji. Dan kalau kebetulan punya anak gadis atau perawan, tidak segan-segan diperkosanya. Orang-rang sudah tahu bahwa pelakunya adalah orang-orang PKI. Bagi orang yang ingin selamat dari perampokan, pencurian dan penganiayaan, maka harus menjauhi tokoh agama, Masyumi dan NU. PKI dan orang-orang komunis telah menjadi monster yang menakutkan. Orang awam atau rakyat jelata atau yang rumahnya terpencil di pelosok pedesaan merasa tidak aman dan tak terlindungi oleh pemerintah. Mereka dipaksa bergabung dengan orang-orang PKI untuk mendapatkan perlindungan. Sementara warga NU mulai meninggalkan tempat ke daerah yang dianggap lebih aman.

Keresahan akibat ulah PKI telah sedemikian meluas, baik di kalangan masyarakat umum, maupun ulama, terutama para kiai pimpinan pesentren serta pejabat setempat yang bukan komunis. Untuk melindungi warga dan para ulama dari tekanan pihak komunis itu maka para pimpinan NU sebagai organisasi yang membawa faham Ahlussunnah Waljamaah serta berniat menjaga keutuhan dan ketertiban NKRI, mulai melakukan langkah mencari solusi.

Untuk memberikan ketenangan pada umat dan mencegah perluasan manuver PKI, maka pada tanggal 24 Mei 1947, NU menyelenggarakan Muktamar ke-17 di kota Madiun yang menjadi pusat kegiatan nasional PKI. Kehadiran jamaah NU terutama para ulamanya itu memberikan kekuatan tersendiri, tidak hanya kepada umat Islam tetapi juga kepada semua aparat negara baik kalangan birokrasi, kalangan militer, termasuk kalangan muda dan pelajar yang menolak pengaruh dan teror yang dilakukan PKI. Sejak dikeluarkannya seruan Kiai Hasyim Asy’ari, NU sangat serius dengan mengkonsolidasikan seluruh potensi NU dan pesantren, termasuk pasukan Hizbullah dan Sabilillah yang ada di daerah itu untuk meningkatkan keamanan warganya dan mempersiapkan mereka menghadapi berbagai ancaman yang bakal terjadi. Kalangan muda NU yang saat itu terhimpun dalam barisan Hizbullah dan Sabilillah yang belum lama ini terjun ke medan perang melawan Sekutu di Surabaya dan Ambarawa, mendapat tugas baru yaitu melindungi masyarakat dan aparat negara dari ancaman kelompok komunis.

Kalangan aparat keamanan yang selama ini tercekam, terutama dari kepolisian mulai berani menindak kelompok yang melakukan pencurian dan perampokan. Kawanan perampok di Desa Bendungan, Kabupaten Trenggalek, yang dianggap sebagai pusatnya PKI di kabupaten itu digerebek oleh aparat kepolisian setempat. Ternyata para perampok itu terdiri dari para warok dan bajingan PKI yang berasal dari berbagai daerah antara lain Ponorogo. Karena itu tidak lama kemudian segerombolan warok dari Ponorogo dan para anggota PKI setempat mengepung Kantor Dinas Kepolisian dan Kantor Kejaksaan Trenggelek, menuntut dibebaskannya teman mereka yang ditahan. Tetapi Komandan Polisi Letnan R. Rustamadji menolak tuntutan mereka yang kemudian menimbulkan perdebatan sengit.

Aparat kepolisian semakin berani walaupun sudah dikepung gerombolan warok PKI yang jumlahnya 150 orang, karena sebenarnya para warok itu telah dikepung oleh aparat TNI dan pasukan Hizbullah dan Sabilillah. Seandainya PKI menyerbu kantor polisi, mereka akan dipukul oleh Hizbullah dan TNI. Mengetahui gelagat itu akhirnya kawanan warok itu pergi dengan melontarkan ancaman akan menyerbu dengan bala pasukan lebih banyak lagi. Ternyata ketika dilawan mereka keder juga, terbukti mereka tidak kembali lagi. Tetapi berita perampokan dan pencurian terus terjadi, sebagai cara PKI meneror warga dan untuk mengumpulkan dana partai.

Sebagai puncak dari semua manuver dan provokasi tadi adalah diselengarakannya rapat umum yang dihadiri langsung oleh Muso maupun Amir Syarifuddin pada bulan Agustus tahun 1948 di beberapa tempat seperti Madiun, Trenggalek dan juga di kota-kota lain di sekitar Jawa Timur dan Jawa Tengah, sebagai strategi PKI untuk melakukan show of force terhadap kekuatan mereka untuk menguasai Republik Indonesia. Semua tokoh PKI setempat dan daerah serta dari CC-PKI hadir dalam rapat umum yang dihadiri puluhan ribu orang. Tetapi bukan semuanya PKI, sebagian masyarakat desa yang tidak tahu-menahu urusan politik dimobilisasi secara paksa oleh PKI. Mereka terpaksa mengikuti kehendak PKI karena kalau mereka menolak jiwa mereka akan terancam. Dengan demikian kekuatan PKI kelihatan sangat besar sehingga bisa menggetarkan lawan.

Sebagaimana disaksikan sendiri oleh KH. Yusuf Hasyim yang saat itu sedang melakukan konsolidasi barisan kiai NU di kota Madiun, melihat kota itu sangat lengang, penduduk mulai menghindarkan diri bertemu dengan tertara FDR-PKI terutama dari unsur Pesindo yang sangat agresif. Mereka berkeliaran ke seluruh sudut kota dan desa dengan seragam serba hitam dengan selendang merah bersenjata api atau pedang, siap membunuh dan merampas siapa saja yang ditemui. Pasukan keamanan baik tentara maupun polisi sendiri kelihatan sudah kewalahan mengatasi keadaan sehingga kelompok PKI leluasa melakukan teror. Saat itulah para kiai yang dikunjungi menyarankan agar KH. Yusuf Hasyim segera meninggalkan Madiun. Kiai Yusuf Hasyim berhasil keluar dari Madiun dengan selamat, kemudian mendengar kabar para kiai yang kemarin di kunjungi sudah menjadi syuhada dibantai oleh PKI.

Dengan menguasai kota itu, PKI mulai melumpuhkan pesantren dan membantai para kiainya. Setelah itu berbagai perkampungan Islam mulai jadi sasaran seperti yang dialami beberapa perkampungan muslim juga menjadi sasaran amukan FDR PKI. Hal itu dialami oleh masyarakat Desa Bangsri dimana harta penduduk desa itu dirampas dan penduduknya ditawan lalu dimasukkan ke dalam sumur-sumur tua. Korban mencapai belasan orang, hanya beberapa yang bisa meloloskan diri. Berbagai tempat ibadah baik langgar dan masjid mereka rusak dan dinodai, sebelum kemudian dibakar atau jamaahnya ditangkap. Kekejaman seperti itu merata di daerah yang dikuasai FDR-PKI, baik di Madiun maupun kota-kota lain di sekitarnya seperti Ponorogo, Magetan, Ngawi, Pacitan, Trenggalek dan sebagainya.

Penculikan terhadap para pimpinan pesantren yang selama ini aktif dalam perjuangan Kemerdekaan dimulai. Para kiai yang mengajarkan agama dan cinta tanah air itu dianggap menghambat agenda PKI, karena itu harus dimusnahkan. Sebagai contoh, KH. Imam Mursyid, pemimpin Pesantren Sabilil Muttaqin, dan pemimpin Tarekat Syatariyah yang kharismatik dari Takeran, mereka culik pada 17 September 1948, seusai sembahyang Jum’at. Kiai itu terpaksa menyerah, sebab kalau melawan diancam pesantrennya akan dibakar dan keluarganya dihabisi.

Pada sore dan malam harinya beberapa kiai lainnya juga mengalami nasib yang sama. Para pejabat pemerintah juga mereka culik dan dibunuh. PKI tahu bahwa selama ini pesantren merupakan saingan kuatnya dalam melakukan revolusi sosial, karena pesantren jauh lebih dipercaya ketimbang PKI yang hanya ditakuti. Karena itu untuk mengawali revolusi sosialnya dengan melumpuhkan pesantren terlebih dahulu.

Penangkapan pada para pengasuh pesantren terus dilanjutkan, maka pada 19 September 1948 KH Muhammad Nur ditangkap, ditangkap pula kiai pesantren seperti Ustadz Ahmad Baidlowi, Muhammad Maidjo, Rofi’i Tjiptomartono dan lain sebagainya. Mereka semuanya dibantai lalu dimasukkan ke dalam sumur bersama ratusan korban lainnya. Keseluruhan kiai di lingkungan pesantren Takeran yang menjadi korban berjumlah 14 orang. Karena jumlahnya banyak mereka diikat menjadi satu sehingga mudah digiring ke lubang pembantaian. Mereka tidak diikat dengan rantai melainkan dengan tali kulit bambu yang sangat tajam sehingga bila mereka bergerak kulit mereka tersayat.

Pesantren lain seperti Pesantren Burikan juga dibakar oleh FDR-PKI, sementara kiainya ditangkap seperti KH. Keang, KH. Malik dan Mulyono. Semuanya dibantai dan dimasukkan ke dalam lubang pembantaian yang sudah mereka siapkan. Harta benda mereka di rampas, berbagai kitab dibakar, sehingga santri bubar menyelamatkan diri kembali ke kampung halaman masing-masing atau mengungsi ke daerah lain. Hal itu membuat pesantren semakin sepi dan keluarga pesantren tidak mendapat penjagaan yang ketat dari para santri. Penjagaan hanya dilakukan oleh keluarga kiai dan tetangga terdekat sehingga posisi para kiai sangat terancam.

Perburuan terhadap para ulama pimpinan pesantren terus dilakukan sehingga seorang kiai yang pesantrennya berada jauh di luar Magetan pun tak luput menjadi sasaran. KH. Imam Shafwan, pemimpin Pesantren Kebonsari bersama kedua orang anaknya yaitu KH. Zubair dan KH. Abu Bawani yang sedang memimpin pengajian juga dibantai oleh FDR-PKI.

Pada umumnya para kiai telah mempersiapkan diri dengan ilmu kanuragan untuk membentengi diri dari serangan penjahat terutama gerombolan PKI. Hal itu dialami oleh Kiai Imam Shofwan saat dianiaya PKI. Ketika kedua anaknya telah tewas, sang kiai masih bertahan walaupun menghadapi berbagai siksaan. Karena PKI sudah jengkel dan tidak sabar, lalu dimasukkan hidup-hidup ke dalam sumur. Dalam kondisi terjepit itulah KH. Imam Shafwan mengumandangkan adzan yang disaksikan oleh beberapa santrinya, tetapi kemudian terkubur dalam keadaan masih hidup oleh pasukan Pesindo-PKI.

Peristiwa serupa dialami oleh KH. Soelaiman Zuhdi Affandi ketika sedang i’tikaf di masjid, lalu tiba-tiba ditangkap oleh gerombolan PKI. Setelah diseret keluar masjid lalu dimasukkan sebagai tahanan di Pabrik Gula Gorang-Gareng. Setelah itu dipindahkan ke tempat tahanan lain di Magetan dengan dinaikkan kereta api berjejal dengan tahanan lain. Setibanya di Desa Soco, para tahanan termasuk KH. Soelaiman disiksa. Karena kiai ini juga seorang yang digdaya maka tidak mudah dibunuh. Karena kejengkelannya lalu oleh PKI dimasukkan ke dalam sumur tua dalam keadaan hidup-hidup.

Lain lagi dengan cerita yang dialami KH. Hamzah, saat mendengar pemberontakan PKI di Madiun, kiai ini hendak pergi ke Magetan. Tetapi ketika baru sampai di Desa Bathokan disergap PKI, kemudian di tahan beberapa hari tanpa diberi makan baru setelah itu dikubur hidup-hidup.

Pendek kata semua pesantren besar kecil terutama yang dipimpin oleh kiai kharismatik menjadi sasaran FDR-PKI. Pesantren Tegal Rejo yang didirikan oleh para prajurit Pangeran Diponegoro di Magetan yang dipimpin oleh Kiai Imam Mulyo tidak lepas dari serbuan PKI. Pada 18 September Pesantren ini dikepung oleh pemberontak, tetapi Kiai Imam Mulyo terus bertahan dengan para santrinya. Kepada para santri Kiai Imam Mulyo menasehati agar tidak menyakiti PKI. Padahal saat itu PKI sudah mulai melempar dan menembaki pesantren. Dengan kekuatan kerohanian disertai pekikan Allahu Akbar semua kelompok yang hendak menyerbu pesantrennya itu bisa dilumpuhkan.

Para pimpinan pemberontak terus memburu para kiai ke daerah lain sampai ke Ngawi. Di daerah yang berbatasan dengan Sragen, Jawa Tengah itu, PKI menangkap semua kelompok yang di luar PKI, terutama kelompok agama. Di Walikukun Ngawi terdapat seorang kiai sepuh yang bernama Kiai Dimyati yang dikenal dengan Mbah Ngompak. Ketika kiai sepuh ini sedang melakukan sembahyang tahajud di tengah malam dalam mesjid di Pesantren Tanjung Sari yang diasuhnya itu, tiba-tiba disergap gerombolan Pesindo. Mbah Ngompak diseret keluar masjid, setelah itu diikat lalu diseret dengan kuda melalui jalanan sepanjang 10 KM tetapi ajaibnya kiai sepuh itu masih bertahan hidup. Kemudian diseret lagi hingga sampai di sebuah sungai yang curam. Badan Mbah Ngompak yang sudah babak belur itu dilempar ke dalam sungai hingga menemui ajalnya di sungai itu.

Pembantaian lain dilakukan gerombolan PKI pada jemaah Kiai Zaenal Abidin. Untuk menjaga setiap kemungkinan, kiai beserta 25 orang santrinya selalu berjaga di masjid hingga semalam suntuk, melakukan berbagai riyadloh untuk keselamatan umat Islam dan bangsa Indonesia. Sudah lama gerombolan pemberontak mengincar kiai beserta santrinya itu. Tetapi ketika sudah lama ditunggu tidak mau keluar dari masjid, maka mereka diseret keluar secara paksa. Kemudian mereka digiring disekap ke dalam sebuah rumah penduduk yang sudah kosong. Dalam keadaan tersekap itu, rumah dibakar sehingga kiai beserta santrinya hangus terbakar.

Tentu saja pemberontakan PKI ini sangat membahayakan terhadap keselamatan republik yang baru dibangun ini. Negeri hasil proklamasi yang baru berusia beberapa tahun yang masih harus melakukan perjuangan melawan tentara sekutu dan agresi Belanda di berbagai front, harus menghadapi dua lawan sekaligus : musuh dari dalam yaitu PKI dan dari luar yaitu Belanda beserta tentara Sekutu. Ternyata kedua kekuatan yang selama ini bermusuhan menyatu dalam menghadapi Republik Indonesia. Front Demokrasi Rakyat (FDR) mendapat bantuan besar dari Belanda. Dalam penggerebekannya terhadap Markas PKI dan Pesindo, tentara Hizbullah menemukan berbagai amunisi dari Belanda dan ditemukan bendera Belanda di markas mereka.

Pemberontakan FDR itu juga difasilitasi Belanda sebagai bentuk politik divide et impera (memecah belah) untuk melumpuhkan Indonesia dari dalam agar Belanda mudah untuk merebut kembali Republik Indonesia sebagai negara jajahannya. Pada hari Ahad 19 Desember 1948 ketika republik ini menghadapi pemberontakan PKI, situasi kacau ini dimanfaatkan Belanda untuk kembali melakukan agresi kedua dengan menduduki Ibu Kota RI, Yogyakarta, dan menangkap Presiden Soekarno serta Wakil Presiden Muhammad Hatta. Dengan didudukinya Yogyakarta, maka satu persatu daerah strategis di Jawa diduduki oleh Belanda. Tentara Indonesia di bawah pimpinan Jenderal Sudirman dengan didukung pasukan Hizbullah dan Sabilillah yang dipimpin KH. Masykur dan KH. Zainul Arifin dari NU terus melakukan peperangan. Sebaliknya PKI Pesindo yang juga berambisi mengambil alih kekuasaan dengan jalan pintas, tertarik dengan agenda Belanda itu, karena itu mereka melakukan pemberontakan pada saat bangsa ini sedang melakukan revolusi nasional.

Dengan didudukinya Jogya oleh Belanda maka perang gerilya dilanjutkan di berbagai daearah, termasuk daerah yang sealama ini menjadi basis PKI seperti Madiun, Ponorogo dan Trenggalek. Bahkan Jenderal Sudirman sebagai pemimpin tertinggi TNI melakukan serangan pada Belanda dengan mengambil basis di Trenggalek. Kemudian pimpinan kesatuan militer yang lain yaitu KH. Masykur, Komandan Sabilillah yang juga ketua PBNU itu melakukan gerilya di Trenggalek bersama Jenderal Sudirman. Persatuan TNI-Sabilillah inilah yang mampu menghadang laju agresi Belanda dan sekaligus mampu membendung gerakan sisa-sisa PKI yang masih berkeliaran di kawasan Selatan Jawa itu.

pki madiun

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda