Kisah Cinta Sitti Nurbaya (2) - POJOKCERITA

Monday, September 12, 2022

Kisah Cinta Sitti Nurbaya (2)

Badannya tinggi kurus dengan punggung bungkuk udang, dadanya cekung serta kakinya pengkar. Bentuk kepalanya besar tetapi tipis di muka.

Rambutnya tinggal sedikit di sekeliling kepalanya. Misai dan janggutnya panjang namun hanya beberapa helai saja. Umurnya lebih dari setengah abad. Matanya kecil tetapi tajam. Mulutnya besar dan giginya kotor. Kulit mukanya karut marut dan penuh dengan bekas penyakit cacar.

Itu dia gambaran seorang tua bernama Datuk Meringgih. Saudagar yang bakhil, loba, dan tamak serta kasar budi pekertinya. Namun demikian ia disegani orang juga sebab hartanya yang tiada ternilai, lebih-lebih bagi mereka yang acap kali kesusahan uang.

Sementara nun jauh di sana. Di Jakarta, Samsulbahri sudah tiga bulan menetap di kota itu. Tiga bulan lamanya pula Nurbaya berpisah dengan kekasihnya itu. Tiada dapat melihat wajahnya maupun mendengarkan suaranya. Biarpun buah hatinya itu telah hilang dari matanya namun makin kelihatan ia dalam kalbunya. Ia pun terserang demam. Pada batinnya bertambah menanggung kesakitan. Ketika itulah baru diketahui benar-benar bahwa betapa besar harga kekasihnya itu baginya.

Ia hanya bisa mencoba melipur hati. Samsu tentu tiada lama lagi akan kembali. “Aduh alangkah senang hatiku kelak apabila telah menjadi istrimu, Samsu. Memang patut aku duduk bersamamu bila engkau telah lulus sebagai dokter,” demikianlah kenang-kenangan Nurbaya pada suatu malam. “Ah, tetapi waktu itu masih lama lagi,” katanya pula. “Masih tujuh tahun. Adakah dapat aku menunggu selama itu?” “Mengapa tidak,” jawabnya kepada dirinya sendiri. “Ingatlah kata pantun : Lurus jalan ke Payakumbuh, bersimpang lalu ke Kinali, Jika hati sama sungguh, kering lautan dapat dinanti.”

Tatkala Nurbaya sedang melamun itu, tiba-tiba didengarnya suara, “Surat pos,” sehingga terkejutlah ia. Di tangga rumahnya terlihat seorang tukang pos berdiri memegang sepucuk surat. Segera setelah diambil lalu dibaca pengirimnya : Samsu, kekasihnya, yang sedang diingat-ingatnya dalam waktu yang bersamaan. Muka Nurbaya berseri karena besar hatinya. Segeralah ia lari ke dalam biliknya lalu dengan hati berdebar dibukanya surat itu. Setelah membaca berbait-bait pantun kerinduan dari Samsu, seketika itu berlinanglah air matanya. Selanjutnya Samsu menulis, “Adikku Nurbaya, begitulah penanggunganku. Bukan sedikit beratnya perpisahan ini rasanya. Bukan engkau saja yang terbayang di mataku namun ibu bapa, handai tolan, dan teman sejawatku yang kutinggalkan di Padang. Tolonglah sampaikan sembah sujudku kepada orang tuamu dan orang tuaku serta salam ta’zimku kepada sekalian handai tolan, teman sejawat kita, dan sambutlah peluk cium dari kekasihmu yang jauh ini.” Setelah surat itu dibaca Nurbaya lalu diciumnya dan diletakannya ke atas dadanya, ke tempat jantungnya yang berdebar, lalu disimpannya ke dalam lemari pekaiannya. Pada malamnya ia mengulang surat-surat Samsulbahri lalu dibacanya sehelai-sehelai sampai tertidurlah ia.   

Tiba-tiba kira-kira pukul dua malam, terbangunglah ia karena mendengar bunyi tabuh pertanda ada rumah yang terbakar. Kelihatan dari balik jendela rumahnya asal api itu berada. Rupanya yang terbakar adalah toko Baginda Sulaiman, ayah Nurbaya. Sejam kemudian habislah ketiga toko Baginda Sulaiman yang terbakar habis dengan isi-isinya.

Dalam surat Nurbaya kepada Samsu dituliskan kejadian toko ayahnya yang terbakar.”Seperti cerita yang kudengar dari ayahmu pada pemeriksaan yang dijalankan, ada tanda-tanda yang menyatakan pembakaran oleh orang karena dekat sana ada bekas tempat minyak dan puntung suluh. Sungguhpun demikian, sampai sekarang belum juga dapat keterangan siapa yang berbuat jahat itu. Oleh sebab kebakaran itu perbuatan orang dan api makan sangat cepatnya, tiadalah dapat ketolongan sepotong barang pun. Oleh sebab ketiga toko itu belum dimasukkan asuransi, rugilah ayahku pada malam itu kira-kira lima puluh ribu rupiah.”

“Tiada lama kemudian rupanya ayahku meminjam duit kepada Datuk Meringgih sebanyak sepuluh ribu dengan janji bagi ayahku tiadalah kuketahui. Setelah sampai masa tiga bulan, datanglah Datuk Meringgih meminta uangnya kembali. Namun ayahku tiada beruang lagi. Setelah dipinta ayahku dengan susah payah, barulah diberinya tangguh sepekan lagi, akan tetapi dengan perjanjian, apabila dalam sepekan itu tiada juga dibayar hutang itu tentulah akan disitanya rumah dan barang-barang ayahku dan ayahku akan dumasukkan ke dalam penjara.”

“Aku tahu, Nur, bahwa engkau tiada suka kepada Datuk Meringgih,” kata ayahku pada malam itu. “Pertama, umurnya telah tua. Kedua, rupanya tak elok. Ketiga, tabiatnya keji. Dan aku tahu pula bagaimana hatimu kepada Samsu. Aku pun tiada lain melainkan itulah yang kucita-citakan yakni melihat engkau duduk bersama Samsu kelak.”

“Sungguhpun aku tahu akan sekalian itu, tapi hendak juga kutanyakan pikiranmu supaya jangan sampai menjadi sesalan di kemudian hari karena engkau sendirilah yang dapat memutuskan perkara ini. Jika sudi, engkau menjadi istri Datuk Meringgih, selamatlah aku, tak masuk ke dalam penjara. Akan tetapi jika tak sudi, niscaya aku aku akan jatuh ke dalam tangannya. Sesungguhnya aku berlebih suka mati daripada memaksa engkau kawin dengan orang yang tiada kau sukai.”

“Semalam-malaman itu tak dapat aku pejamkan mataku barang sekejap pun. Sungguhpun mataku terbuka tetapi tak dapat aku berpikir apa-apa. Keesokan hari, tiada berapa lama, datanglah Datuk Meringgih dengan dua orang Belanda. Karena ayahku menyatakan tak sanggup membayar hutangnya, pegawai Belanda itu mengatakan akan menyita rumah dan sekalian harta benda ayahku.”

“Tatkala kulihat ayahku akan dibawa ke dalam penjara, gelaplah mataku dan hilanglah pikiranku. Lalu keluarlah aku dari kamar dan berteriak, “Jangan penjarakan ayahku! Biarlah aku menjadi istri Datuk Meringgih!” Mendengar itu, terseyumlah Datuk Meringgih yang pada penglihatanku sebagai senyum seekor harimau yang hendak menerkam mangsanya.”

“Ayahku tiada dapat berkata-kata apa melainkan datang memelukku sambil bertanya, “Benarkah katamu itu?” Sejak waktu itulah, Samsu, aku menjadi istri Datuk Meringgih…”

Setelah membaca surat itu, Samsu menundukkan kepalanya ke atas meja, menangis amat sangat karena meratapi nasib kekasihnya dan dirinya sendiri. Segala cita-cita hatinya yang sekian lama diharapkan, pada saat itu hilang lenyap. “Alangkah malangnya nasibku ini” demikian buah tangis Samsulbahri seorang diri.

Setelah menangis amat sedih, ia pun tiba-tiba berdiri dan mengepalkan tangan. “Demi Allah demi Rasul-Nya! Selagi ada napas di dalam dadaku, akan kubalas jua kejahatan ini! Tiada puas hatiku sebelum kutuntut bela atas aniaya ini!”  

Sumber : Novel “Siti Nurbaya ; Kasih Tak Sampai” karya Marah Rusli. Penerbit Balai Pustaka. 

cinta

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda