Bukan Pujangga Menjadi Penulis Novel ? - POJOKCERITA

Saturday, December 31, 2022

Bukan Pujangga Menjadi Penulis Novel ?

Hari ini adalah hari terakhir di penghujung tahun 2022 dimana esok hari sudah masuk ke kalender 2023. Lalu apa resolusi yang ingin Anda wujudkan di tahun 2023 ? 

Seperti orang pada umumnya, saya juga ingin mencoba sesuatu yang baru yang sebelumnya belum pernah dilakukan yaitu menulis buku baik fiksi maupun non fiksi. Khusus non fiksi sepertinya akan lebih mudah mendapatkan jalan karena sudah banyak kumpulan tulisan-tulisan terkait bidang pekerjaan yang dapat dijadikan dalam sebuah buku. 

Bagaimana dengan tulisan fiksi ? Inilah tantangan yang sebenarnya. Menjadi seorang penulis cerita fiksi seperti cerpen atau novel tentu bukan pekerjaan mudah namun juga bukan sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan. Sebagaimana hal-hal lain, dibutuhkan niat dan usaha terus-menerus secara konsisten meski progress tidak bisa dijanjikan cepat, yang penting ada langkah-langkah ke depan meski hanya satu centimeter setiap harinya. 

Dan yang menjadi pertanyaan menarik adalah apakah menjadi seorang sastrawan diperlukan seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang sastra ? Bisakah seorang engineer atau sarjana teknik menelorkan karya fiksi berupa novel atau cerpen ? Apakah seorang yang bergelut sehari-hari di bidang eksakta atau engineering dapat melahirkan karya sastra yang memerlukan daya imajinasi dari ide-ide kreatif yang memerlukan ketrampilan otak kanan ?

Saat ini sudah banyak penulis-penulis cerpen atau novel yang berasal dari kalangan muda dari berbagai latar belakang pendidikan. Hal ini membuktikan bahwa semua orang sesungguhnya diberikan potensi dan bakat yang beragam, terlepas dari latar belakang penddikan formal yang mereka ditempuh.

Untuk membuktikan hal di atas, cukup kiranya kita membaca kisah sosok seorang lulusan sekolah dokter hewan yang ternyata memiliki talenta menjadi pengarang novel. Ya, ia adalah Marah Rusli, sang pengarang novel legendaris “Sitti Nurbaya; Kasih Tak Sampai.”  

Marah Rusli yang lahir di Kota Padang dari keturunan bangsawan Minangkabau itu adalah seorang siswa di Sekolah Dokter Hewan di Bogor yang menamatkan pendidikannya di sana pada tahun 1915. Setamat dari sana, ia sempat bekerja sebagai dokter hewan di Sumbawa Besar lalu pulang ke Padang. Dia tidak dapat mengelak lagi atas rencana orang tuanya untuk mengawinkannya lagi dengan calon istri pilihan orang tuanya.

Sesungguhnya sebelum kepulangannya ke Padang atau pada saat masih bersekolah di sekolah Dokter Hewan, Marah Rusli telah menikahi seorang gadis Sunda kelahiran Bogor, Nyai Raden Ratna Kencana Wati. Perkawinan tersebut tidak diketahui oleh orang tua Marah Rusli di Padang. Marah Rusli berpendapat bahwa perkawinan itu merupakan jalan untuk sebuah keberhasilan studi. 

Pada akhirnya perkawinan itu diketahui oleh orang-orang di Padang. Mulailah orang-orang Padang tidak bersimpatik dengan Marah Rusli. Dan karena perkawinannya itu pula Marah Rusli disisihkan dari ikatan keluarga, bahkan ia dinyatakan dikeluarkan dari ikatan kekeluargaan.

Dia tidak dapat mengelak lagi atas rencana orang tuanya untuk mengawinkannya lagi dengan gadis pilihan orang tuanya meski ia telah menikahi gadis Sunda. Pernikahan itu dibuat dengan perjanjian bahwa setelah peresmian pernikahan dengan gadis Minangkabau, istri kedua yang tidak dikenalnya itu bakal dijatuhi talak tiga. Hal itu membuat orang tua Marah Rusli semakin marah. Oleh sebab itu, Marah Rusli kemudian mengambil keputusan nekad untuk kembali ke Bogor dengan segera.

Walaupun sekolah formalnya ditempuh di bidang kedokteran hewan, Marah Rusli menaruh minat dan perhatian yang tinggi pada dunia sastra. Sejak kecil Marah Rusli telah gemar mendengarkan tukang kaba mendendangkan kaba (prosa khas Minangkabau) yang berisi dongeng-dongeng yang memberikan wawasan dan pendidikan bagi pada pendengarnya. 

Setelah mendapat pendidikan tinggi, Marah Rusli mulai memandang adanya kepincangan-kepincangan dalam pelaksanaan adat yang ada di Sumatera Barat. Marah Rusli berpikir bahwa hanya dengan tulisan sajalah jalan pikirannya akan lebih luas diketahui orang. Maka ia menulis novel Sitti Nurbaya. Dari keluarganya dan golongan yang kuat berpegang pada adat lama, ia mendapat tantangan. Keluarga dan kaum adat itu menyesali munculnya novel Sitti Nurbaya. Ayahnya sendiri menyesali perbuatannya itu. 

Namun dengan terbitnya Sitti Nurbaya itu, Marah Rusli mendapat buah lain yang membanggakan yaitu ia mendapat gelar sebagai pelopor kesusastraan Indonesia modern. Ada beberapa karya Marah Rusli setelah itu yang belum diterbitkan. Karya itu adalah "Memang Jodoh" dan "Tesna Zahera". Karya Marah Rusli yang berupa cerita untuk anak-anak adalah “Tambang Intan Nabi Sulaiman.” Cerita ini telah diterbitkan dalam bahasa Belanda.

Hasil karya Marah Rusli yang paling penting dan fenomenal adalah novel Sitti Nurbaya. Novel ini diberi anak judul oleh Marah Rusli dengan frase "Kasih Tak Sampai" dan telah dicetak sampai dengan cetakan ke-20 pada tahun 1990. Novel ini sudah difilmkan dalam bentuk sinetron. Tokoh rekaan yang diciptakannya, Siti Nurbaya, telah menjadi legenda tidak saja bagi masyarakat Padang namun juga bagi bangsa Indonesia.

Nah, jadi jika ingin menjadi penulis novel, Anda tidak harus berangkat dari seorang lulusan sastra. Mungkin saja Anda memiliki banyak bakat terpendam yang orang lain patut mengetahuinya !.

novel

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda