Apa Sebenarnya Arti “Mitslan bi Mitslin” dan “Sawa’an bi Sawa’in”? - POJOKCERITA

Wednesday, February 1, 2023

Apa Sebenarnya Arti “Mitslan bi Mitslin” dan “Sawa’an bi Sawa’in”?

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ  

Hadits dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah SAW bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama takaran atau timbangannya, dan dibayar tunai atau kontan. Apabila jenis yang diperjualbelikan berbeda maka jual-lah sesuai dengan kehendakmu (boleh yang satu lebih banyak dari yang lain) asalkan dilakukan secara tunai” (HR. Muslim). 

Dalam buku karya Dr. Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani yang berjudul “30 Dosa Riba Yang Dianggap Biasa” Cetakan IV 2020 terbitan PQS Publishing disebutkan bahwa “mitslan bi mitslin” dan “sawa’an bi sawa’in” yang disebutkan dalam teks hadits Ubadah bin Shamit di atas diartikan sebagai “sama takaran” dan “sama timbangan.” Pendefinisian yang sama dituliskan oleh Muhammad Abduh Tuasikal di https://rumaysho.com/364-riba-dalam-emas-dll-riba-fadhl.html yang menyebutkan “mitslan bi mitslin, sawa’an bi sawa’in” diartikan sebagai “takaran atau timbangan harus sama.” Artinya, “mitslan” itu berkaitan dengan “takaran” dan “sawa’an” berkaitan dengan “timbangan.”

Saya sebagai orang awam tentu saja merasa mendapatkan “pencerahan” karena hanya sedikit ulama, dosen, atau ahli ekonomi syariah yang mendefinisikan frase “mitslan bi mistlin” dan “sawa’an bi sawa’in” secara mendetail. Rata-rata secara serempak para penulis riba yang saya gali di berbagai sumber atau literatur internet menyebutkan “mitslan bi mistllin” diartikan sebagai “sama kualitas atau mutu” sedangkan “sawa’an bi sawa’in” diartikan sebagai “sama kuantitas.” Inilah yang menyebabkan keraguan dari saya muncul terkait apakah pendefinisian itu sudah betul ataukah terdapat kesalahan. 

Jika benar bahwa “mitslan bi mitslin” diartikan sebagai “sama kualitas atau mutu” maka aturan atau kaidah hukum atas barang ribawi menjadi sebagai sebagai berikut : “Jika barang yang ditransaksikan sejenis dan satu ‘illat (misal emas dengan emas, perak dengan perak), syaratnya harus mitslan bi mitslin (sama kualitas atau mutu), sawa’an bi sawa’in (sama kuantitas), dan yadan bi yadin (dilakukan secara tunai atau kontan). Di sini seolah-olah ada 3 (tiga) kriteria yang harus dipenuhi terhadap pertukaran barang ribawi sejenis. Atas ketentuan ini menjadi patut dipertanyakan mengingat terdapat hadits-hadits Rasulullah SAW yang justru tidak mempermasalahkan soal kualitas atau mutu atas pertukaran barang ribawi yang sejenis seperti dalam kasus kurma baik vs kurma buruk. Dikisahkan Bilal datang menemui Nabi SAW dengan membawa kurma barni yaitu jenis kurma terbaik maka Nabi SAW bertanya kepadanya, “Dapat dari mana kurma ini?” Bilal menjawab, “Kami memiliki kurma yang jelek lalu kami jual 2 (dua) sha kurma tersebut dengan 1 (satu) sha kurma yang baik agar kami dapat menghidangkannya kepada Nabi SAW. Maka saat itu juga Nabi SAW berkata, “Aduh-duh, ini benar-benar riba. Janganlah kamu lakukan seperti itu. Jika kamu mau membeli kurma maka juallah kurmamu dengan harga tertentu kemudian belilah kurma yang baik ini” (HR. Bukhari).

Dalam hadis di atas, Bilal hendak menyuguhkan kurma barni kepada Rasulullah SAW yaitu jenis kurma berkualitas tinggi. Kemudian Rasulullah SAW menanyakan dari mana asal kurma tersebut. Bilal menjawab bahwa ia mendapatkan kurma berkualitas baik itu dengan cara menukarkannya dengan kurma berkualitas buruk. Agar pemilik kurma bagus itu tidak rugi, Bilal bersedia menukar 2 (dua) ṣha kurma buruk miliknya dengan 1 (satu) ṣha kurma baik. Begitu mendengar cara transaksi tersebut, Rasul SAW menegur dan mengatakan bahwa itu benar-benar riba dan beliau melarangnya.

Dengan demikian, saya berkesimpulan bahwa pertukaran kurma baik dengan kurma jelek itu hanya akan dihitung sebagai riba apabila takaran atau timbangannya tidak sama (meskipun kualitasnya berbeda). 2 (dua) sha kurma buruk ditukar dengan 1 (satu) sha kurma bagus (ada perbedaan kualitas) akan jatuh kepada perkara riba karena terdapat kelebihan 1 (satu) sha pada kurma buruk. Selanjutnya agar tidak terjadi riba, 2 (dua) sha kurma buruk itu harus ditukar dengan 2 (dua) sha kurma bagus. Ketika terjadi beda takaran berarti ada kelebihan dan kelebihan itulah yang menyebabkan terjadinya riba.

Maka dari itu, kembali ke pertanyaan di atas, apakah benar “mitslan bi mitslin” diartikan sebagai “sama kualitas atau mutu”? Ataukah “mitslan bi mitslin” itu sebenarnya memiliki arti “sama takaran”?, dimana takaran itu sendiri tidak memiliki keterkaitan dengan kualitas atau mutu. Takaran dan timbangan adalah kata-kata yang menunjukkan suatu kuantitas yang ditunjukan dengan frase “mitslan bi mistlin (sama takaran)” dan “sawa’an bi sawa’in (sama timbangan).” Jika benar demikian maka dalam sejumlah literatur di internet pun telah terjadi pembelokkan arti “mitslan bi mitslin” yang telah melenceng dari makna sebenarnya. Wallahua’lam.

riba

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda