Perbedaan Pendapat Ulama tentang ‘Illat Hukum Riba pada Makanan - POJOKCERITA

Thursday, January 12, 2023

Perbedaan Pendapat Ulama tentang ‘Illat Hukum Riba pada Makanan

Tidak adil rasanya apabila dalam membahas riba, kita tidak menyampaikan seluruh pendapat ulama terkait adanya perbedaan penetapan ‘illat hukum riba. Hal ini diperlukan guna memberikan informasi kepada kita bahwa diantara ulama-ulama madzhab pun terjadi perbedaan pendapat dalam pembahasan tentang 'illat riba.

Pada tulisan sebelumnya sebenarnya telah dibahas juga mengenai perbedaan pendapat di kalangan imam madzhab tentang ‘illat riba, namun ada baiknya saya coba uraikan lagi secara khusus dalam tulisan ini.

Madzhab Dzahiri

Madzhab ini paling simple dalam memutuskan atau menetapkan ‘illat hukum riba karena mereka menganut faham tidak mau menggunakan ijtihad sehingga dalam perkara ini tidak ada ‘illatnya. Jika Rasul SAW hanya menyatakan secara eksplisit atas 6 (enam) barang ribawi maka cukuplah untuk menyatakan bahwa riba hanya ada pada 6 (enam) barang itu tanpa perlu ditambah-tambah dengan barang lain dengan mencari ‘illat keharamannya. Maka menurut madzhab ini, tidak ada riba diluar atau selain dari 6 (enam) jenis komoditas yang disebutkan dalam hadits Ubadah bin Shamit. Jadi pada contoh kasus pertukaran pisang dengan pisang yang sudah saya tulis sebelumnya maka tidak ada masalah jika transaksi itu dilakukan baik terdapat kelebihan pada salah satunya dan boleh dilakukan penyerahan barang secara tertunda (tidak kontan). Alasannya ya karena itu, bahwa pisang tidak disebutkan Nabi SAW secara eksplisit sebagai barang ribawi. 

Pendapat ini menyelisihi pendapat kebanyakan ulama dimana diluar madzhab ini, para ulama menyatakan bahwa larangan riba tidak hanya berlaku pada 6 (enam) jenis barang tersebut di atas.

Madzhab Hanafi

Menurut ulama madzhab Hanafi, riba fadhl hanya berlaku dalam “timbangan” atau “takaran” benda yang sejenis. Jadi, semua barang (meski diluar 6 jenis komoditas) apabila diperjualbelikan dengan cara ditimbang atau ditakar maka harus dilakukan dalam jumlah yang sama (tidak boleh ada kelebihan) dan secara kontan. Saya coba cari permisalan lain : saya memiliki kopi robusta Lampung seberat 100 gram lalu ada teman saya memiliki kopi robusta Aceh seberat 250 gram. Kita ketahui bahwa kopi ini biasanya diperjualbelikan dengan cara ditimbang. Maka, karena komoditas kopi tersebut ditimbang, saat saya tukar kopi Lampung ke kopi Aceh, menurut madzhab Hanafi, beratnya harus sama : 100 gram dengan 100 gram, atau 250 gram dengan 250 gram, serta penyerahan barangnya dilakukan secara kontan dan tidak boleh ada penundaan waktu. Jika terdapat kelebihan maka dikatakan terjadi riba fadhl. Dan jika secara bersamaan terjadi kelebihan maupun penundaan waktu maka terjadilah riba nasi’ah. 

Karena yang diakui madzhab ini hanya pada faktor barang yang dapat ditimbang atau ditakar maka atas barang-barang yang tidak ditakar atau ditimbang, tidak termasuk kategori riba. Artinya ‘illat “ditimbang” atau “ditakar” akan mengecualikan barang yang “dihitung (ma’dud)” atau “diukur panjangnya (mazru’) sehingga dalam hal ini boleh dilakukan jual beli meski ada tambahan. Misal seekor sapi berumur 3 (tiga) tahun hendak dijual dengan sapi berumur 4 (empat) tahun dimana badan sapi 4 (empat) tahun lebih besar dari yang 3 (tiga) tahun. Meskipun objek yang diperjualbelikan sama yaitu sama-sama sapi namun karena diukurnya bukan dengan cara ditimbang atau ditakar dan nilainya pun berbeda maka jual beli seperti itu diperbolehkan. Contoh lain, menjual 1 (satu) kambing dengan 2 (dua) kambing boleh-boleh saja karena kambing itu tidak bisa ditimbang atau ditakar. Atau menukarkan 5 meter kayu jati dengan 7 meter kayu jati juga boleh karena kayu tersebut tidak dapat ditimbang atau ditakar.

Secara sekilas, cara penetapan hukum ‘illat ini bisa saja menimbulkan keraguan terutama karena adanya barang-barang yang memang tidak dapat ditakar atau ditimbang melainkan dihitung (ma’dud). Misal di sekitar masyarakat kita berlaku anggapan bahwa setiap kelebihan jumlah menunjukkan adanya penambahan. Menukar 1 (satu) genting rumah dengan 2 (dua) genting rumah yang panjang dan lebarnya sama telah menunjukkan adanya penambahan.

Madzhab Syafi’i

Pada mulanya, Imam Syafi’i dalam qaul qadim-nya menyatakan bahwa ‘illat pada makanan adalah yang dapat ditakar atau ditimbang, namun pada qaul jadid, ‘illat makanan itu sebagai makanan saja. ‘Illat riba pada jenis makanan adalah semata-mata karena benda itu bersifat makanan baik itu makanan pokok maupun makanan biasa atau makanan ringan, termasuk makanan untuk melezatkan masakan, atau makanan untuk menyehatkan badan atau untuk memperbaiki makanan yaitu obat (meskipun kesemuanya itu tidak dapat ditakar atau ditimbang). 

Apabila pertukaran makanan yang sama jenisnya dan terdapat kelebihan dari salah satunya maka akan terkena ribad fadhl, dan apabila dibarengi dengan penundaan waktu maka akan terjadi riba nasi’ah. Maka jika madzhab lain mengkaitkan ‘illat riba makanan karena timbangan atau takaran, madzhab Syafi’i mengambil alasan bahwa ke-empat jenis makanan itu adalah ya memang makanan yang ditujukan untuk dikonsumsi tubuh manusia tanpa melihat apakah itu masuk makanan pokok atau bukan, tahan lama atau tidak, dan seterusnya. Maka dalam kasus pertukaran pisang sesama pisang berarti tidak boleh terjadi kelebihan satu diantara yang lain dan harus dilakukan secara kontan. Namun jika jenis makanan yang dipertukarkan berbeda, misal pisang dengan jagung, maka boleh terjadi kelebihan atau penambahan asal dilakukan secara kontan. Selain itu, atas benda yang asalnya tidak sama namun bentuk akhirnya sama, misal tepung gandum dan tepung jagung, maka tidak berlaku hukum riba.

Madzhab Maliki

Menurut Imam Malik, ‘illat hukum riba pada empat jenis makanan adalah terletak pada makanan pokok yaitu makanan sehari-hari yang dapat disimpan dalam jangka waktu lama. Namun mereka tidak memberikan batas waktu yang pasti dengan alasan agar manusia tidak tertipu dan harta mereka terhindar dari spekulan.

Imam Malik membedakan ‘illat makanan antara riba nasi’ah dan riba fadhl. ‘Illat dalam riba nasi’ah adalah sifatnya sebagai makanan yang bukan untuk obat, baik yang biasa disimpan dan mengenyangkan. Sedangkan ‘illat riba fadhl adalah pada jenis makanan yang mengenyangkan dan bisa disimpan. Menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat. 

Jadi apabila menurut Imam Syafi’i, sayur kol adalah termasuk barang ribawi karena merupakan jenis makanan maka menurut Imam Malik bukan termasuk barang ribawi karena sifatnya tidak mengenyangkan. Dan beda lagi menurut Imam Abu Hanifah dimana sayur kol itu termasuk barang ribawi karena dapat ditimbang.       

Madzhab Hambali

Dari perspektif madzhab Hambali terdapat 3 (tiga) riwayat terkait ‘illat hukum riba namun yang paling mashyur adalah riwayat pertama yang intinya sama dengan pendapat ulama madzhab Hanafi yaitu barang yang dapat ditimbang atau ditakar. Riwayat kedua dan ketiga tidak saya sampaikan di sini karena membuat saya makin pusing menganalisa! 😜

Referensi  :

“Fiqh Riba; Kajian ‘Illat Hukum (Kausa Legal) Riba” oleh Rusdan. Institut Agama Islam Nurul Hakim Kediri Lobar. 2015.

“Konsep riba dalam fiqih an al-qur’an : Studi komparasi” oleh Ipandang & Andi Askar. IAIN Kendari & IAIN Bone. 2020.

riba

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda