Kisah Kehidupan Ahmad Yani ; Dari Kecil Sampai Menjadi Korban G30S PKI - POJOKCERITA

Tuesday, May 21, 2019

Kisah Kehidupan Ahmad Yani ; Dari Kecil Sampai Menjadi Korban G30S PKI

Ahmad (Achmad) Yani lahir di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah, pada tanggal 19 Juni 1922 dan merupakan anak pertama dari Bapak Sarjo bin Suharyo dan Ibu Murtini.

Sejak kecil bakat kemiliteran Ahmad sudah terlihat dari kesenangannya bermain perang-perangan. Ia kerap menjadi pemimpin dari kelompok anak-anak kecil di kampungnya.

Hulstyn, seorang Belanda yang merupakan majikan ayahnya tertarik untuk mengasuh Ahmad. Oleh Hulstyn, di belakang nama Ahmad kemu­dian ditambah dengan Yani sehingga ia lebih dikenal dengan nama Ahmad Yani.

Di dataran rendah Bagelen, wilayah Kedu, tumbuh subur mitos kepahlawanan yang diwariskan dari sosok Pangeran Diponegoro karena daerah ini cukup lama ditempati oleh Diponegoro dan pasukannya. Di daerah ini pula Pangeran Diponegoro berhasil melakukan perang gerilya terhadap Belanda. Kisah-kisah kepahlawanan itulah yang kemudian didengar dan diterima oleh Ahmad Yani sehingga mempengaruhi watak dan karakternya.

Atas usaha Hulstyn, pada tahun 1928, Ahmad Yani berhasil dimasukkan ke HIS (Hollandsch lnlandsche School) di Purworejo, Jawa Tengah. Sejak kelas IV sampai tamat, ia menempuh pendidikan di kota Bogor, Jawa Barat. Di sekolah inilah Yani tumbuh sebagai pelajar yang cerdas sehingga cukup disegani teman-temannya.

Setelah menamatkan HIS di tahun 1935, Ahmad Yani lalu meneruskan sekolahnya ke MULO Bagian B di Bogor sampai tamat di tahun 1938. Ia lalu melanjutkan pendidikan di AMS (Algemeene Middelbare School) di Jakarta.

Pendidikan militer ditempuhnya di kota Malang selama kurang lebih 6 (enam) bulan. Perte­ngahan tahun 1941, Ahmad Yani yang berpangkat Sersan Cadangan Bagian Topografi ditugas­kan di Bandung. Pada akhir tahun 1941 ia dikirim ke Bogor untuk mengikuti pendidikan militer secara intensif. Setelah selesai, ia di­kembalikan lagi ke Bandung.

Sementara itu, Pemerintah Hindia Belanda mengumumkan perang ter­hadap Jepang. Dalam pertempuran di Ciater, Lembang, Sersan Ahmad Yani ikut serta membela tentara Hindia Belanda. Waktu itu kota Bandung jatuh ke tangan Jepang sehingga Ahmad Yani ikut ditawan. Setelah dibebaskan, ia kemudian kembali ke kampung halamannya.

Pada awal tahun 1943 ia mendaftarkan diri menjadi juru bahasa (Cuyaku). Seorang perwira Jepang bernama Obata melihat bahwa dalam diri Ahmad Yani tersimpan bakat militer yang tinggi. Atas saran Obata, Ahmad Yani kemudian mengikuti pendidikan militer untuk heiho di kota Magelang. Dengan modal itu ia dikirim ke Bogor untuk mengikuti pendidikan Syodanco pada Boei Giyugun Kambu Renseitai

Ahmad Yani

Sebelum berangkat ke Bogor, Ahmad Yani mengisi waktu dengan belajar mengetik di sebuah sekolah mengetik di Purworejo. Di situlah benih-benih cinta merekah saat ia berkenalan dengan seorang gadis bernama Bandiah Yayu Rulia. Perkenalan itu berlanjut dengan terwujudnya bahtera rumah­ tangga diantara keduanya. Pada tanggal 5 Desember 1944, ia melangsungkan pernikahannya dengan Bandiah. Dari perkawinan ini kelak mereka dianu­gerahi 8 (delapan) orang anak.

Ahmad Yani

Sekembali dari Bogor, pasukan yang dipimpin Ahmad Yani selalu menorehkan prestasi yang gemilang. la tetap ber­ada di Magelang ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Dua hari setelah proklamasi, Jepang membubarkan PETA dan semua organisasi kemi­literan, termasuk Kesatuan Yani pun bubar. Namun ia berusaha mengumpulkan kembali anak buahnya yang sudah bercerai berai sambil mencari tenaga tam­bahan. Akhimya ia berhasil mengumpulkan pasukan sebesar satu batalyon.

Peristiwa pertama tercatat ketika Kesatuan Yani pada bulan Sep­tember 1945 turut aktif mengambil bagian dalam peristiwa Tidar. Beberapa pemuda Indonesia waktu itu dengan gagah berani mengibarkan bendera merah putih di puncak bukit kecil itu. Karena ketahuan, bendera itu kemudian diturunkan oleh tentara Jepang yang menyebabkan timbulnya bentrokan fisik.

Setelah TKR (Tentara Keamanan Rakyat) terbentuk, pasukan Ahmad Yani ini dijadikan sebagai Batalyon 4 dimana Yani diangkat menjadi komandan batalyon dengan pangkat mayor. Batalyon ini merupakan bagian dari Resimen XIV Magelang sebagai bagian dari Divisi V Purwokerto di bawah pimpinan KoloneI Soedirman.

Dengan melihat prestasi yang dinilai cukup baik, pada buIan September 1948 pangkat Yani dinaikkan menjadi letnan kolonel. Dengan pangkat yang baru ini ia kemudian memimpin Brigade Diponegoro dari Divisi III yang membawahi Batalyon Suryosumpeno, Batalyon Daryatmo, dan Batalyon Panuju.

Meskipun perang kemerdekaan berakhir dengan diakuinya kedaulatan Indonesia oleh Belanda namun di Jawa Tengah justru muncul gangguan keamanan yang dilakukan oleh gerombolan bersenjata. Di daerah Kebumen muncul gerombolan Kyai Somolangu, di Kudus mele­tus pemberontakan Batalyon 426, sedangkan di daerah Pekalongan dan Brebes muncul gerombol­an DI/TII. Ahmad Yani mendapat tugas untuk menumpas gerombolan-gerombolan tersebut. Sementara brigade yang dipimpinnya mendapat nama baru yaitu Brigade Q Praloga I sebab nama Diponegoro sudah dipakai untuk nama Territorium IV Jawa Tengah.

Dari keberhasilan menumpas DI/TII muncul ide membentuk Batalyon Raiders yang terwujud pada tanggal 25 Maret 1953. Komandan pertamanya adalah Kapten Hardoyo. Sejak saat itu operasi penumpasan DI/TII semakin ditingkatkan dan akhirnya gerombolan itu berhasil ditumpas.

Ahmad Yani

Selama satu tahun (1955-1956) Ahmad Yani disekolahkan ke Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Amerika Serikat. Lalu ia kembali ke tanah air dengan diberikan posisi sebagai Asisten II (Operasi) untuk kemudian menduduki jabatan Deputy I (Operasi). Pangkatnya pun dinaikkan menjadi kolonel.

Keahlian yang diperoleh selama belajar di Amerika Serikat dipakai ketika ia diangkat menjadi Komandan Operasi 17 Agustus. Operasi gabungan dirancang untuk menumpas PRRI di Surnatera Barat.

Kembali dari operasi di Sumatera ia dipercaya memegang jabatan sebagai Deputy II (Pembinaan). Selain itu ia juga ditugaskan sebagai Deputy KSAD untuk wilayah Indonesia bagian Timur. Jabatan tertinggi diperoleh saat menjabat sebagai KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat). Pada tanggal 1 Januari 1963 pangkatnya dinaik­kan menjadi mayor jenderal dimana setahun kemudian naik lagi menjadi letnan jen­deral.

Ahmad Yani

Ahmad Yani menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat pada saat PKI berada di atas angin karena politik keseimbangan kekuatan (balance of power) yang dianut Presiden Sukarno. Garis politik itu menjadikan posisi Angkatan Darat berada pada situasi yang sulit. Terhadap angkatan ini dimunculkan isue Dewan Jenderal.

Dengan alasan munculnya ancaman militer dari negara asing, PKI menuntut dibentuknya Angkatan Kelima dimana kaum buruh dan tani yang merupakan basis massa PKI harus dipersenjatai. Gagasan ini ditolak oleh Ahmad Yani. Pertentangan antara PKI dan TNI AD berlanjut berupa percobaan serangan fisik dalam peristiwa Bandar Betsi, peristiwa Jengkol, dan lain-lain. Antara angkatan satu dengan lainnya di tubuh ABRI dicoba untuk diadu domba. Puncak dari usaha itu adalah dengan munculnya pemberontakan G30S/PKI.

Detik-Detik Terbunuhnya Ahmad Yani pada Tanggal 1 Oktober 1965

Di rumah yang terletak di ujung Jalan Lembang, Jakarta, sekitar pukul 05.00 WIB tanggal 1 Oktober 1965, mbok Milah, pembantu rumah tangga keluarga Ahmad Yani sudah terbangun. Begitu pula dengan Eddy, putra bungsu Ahmad Yani. Sementara itu, kelompok penculik berhasil membekuk dan melumpuhkan pasukan pengawal rumah Ahmad Yani.

Ahmad Yani

Sersan Tumiran yang berpakaian seragam Cakrabi­rawa masuk melalui pintu depan yang kebetulan tidak terkunci dan kemudian memerintahkan mbok Milah untuk membangunkan Ahmad Yani. 

Ahmad Yani

Pembantu rumah ini tidak berani membangunkan langsung sehingga memerintahkan Eddy untuk membangunkan ayahnya. Sementara beberapa orang anggota penculik lainnya masuk melalui pintu samping yang menimbulkan suara bising yang menyebabkan terbangunnya anak-anak Ahmad Yani yang lain.

Ahmad Yani

Diberitahukan bahwa ada utusan yang menghadap, Ahmad Yani segera bangun dan keluar ke ruangan tamu belakang untuk menemui utusan terse­but. Awalnya tidak muncul rasa curiga karena yang datang adalah anggota Cakrabirawa yang nota benenya adalah pasukan pengawal presiden. Sersan Raswad yang memakai tanda pangkat kapten melaporkan bahwa Ahmad Yani diperintahkan presiden untuk segera menghadap. Ketika Ahmad Yani bermaksud akan mandi sambil berbalik badan, anggota pasukan Cakrabirawa mencegahnya sehingga membuat Ahmad Yani marah. Ia membalikkan tubuhnya lalu menempeleng prajurit yang berdiri persis di belakangnya sambil berkata, “Tahu apa kau prajurit !”. Sesudah itu ia melangkah masuk ruangan tengah dan menutup pintu kaca. Prajurit yang ditempeleng itu adalah Praka Dokrin.

Ahmad Yani

Sersan Giyadi yang berdiri di samping Dokrin melepaskan serentetan tembakan dari senapan Thomson ke arah pintu kaca yang hampir tertutup  dimana peluru-peluru itu menembus pintu kaca yang kemudian mengenai tubuh Ahmad Yani. 

Ahmad Yani

Ia pun roboh dalam keadaan tubuhnya berlumuran darah, lalu diseret ke pekarangan dan dilempar ke atas truk. Sesampainya di Lubang Buaya, jenazahnya kemudian dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua beserta jenazah para Pahlawan Revolusi lainnya.

Sumur Maut

Diolah kembali dari https://sejarah-tni.mil.id/2017/04/05/jenderal-ahmad-yani/

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda