Ayah, Sang Pejuang Sejati Keluarga - POJOKCERITA

Sunday, July 14, 2019

Ayah, Sang Pejuang Sejati Keluarga

Sahabat-sahabatku, aku yakin bahwa engkau pun memiliki seorang ayah yang hebat, sehebat ayahku. Dan sekelumit tentang kehebatan seorang ayah akan aku tuliskan dalam blog ini. Engkau pun patut menceritakan sosok ayahmu agar seluruh dunia tahu tentang kehebatan pahlawan keluargamu itu.

Aku sering mendengar cerita kehebatan ayah hanya dari penuturan ibuku dan jarang yang aku dengarkan langsung dari mulut ayah. Wajar saja itu terjadi karena ayahku memang bukan tipe orang yang suka berbicara. Hanya hal-hal penting saja yang harus membuat ayah menyampaikan kata hatinya.

Meskipun kini ayahku telah berpulang ke Rahmatullah namun cerita tentang kebaikan yang sudah diberikan kepadaku dan keluargaku tak akan lekang ditelan jaman dan tetap terkenang di dalam hati. Dan aku yakin, ayah-ayah kalian yang sudah meninggal dunia pun tak akan terhapus jasanya dari ingatan kalian.

Ayahku lahir tahun 1936, artinya kakek dan nenekku hidup di jaman penjajahan Belanda. Masa-masa sulit yang dihadapi orang tua ayahku alias kakek nenekku pastilah banyak pada saat itu. Namun cerita-cerita pahit getirnya kehidupan di jaman penjajahan Belanda itu jarang aku dengar. Dari sejarah Indonesia yang dapat dibaca di internet atau buku pun sebenarnya sudah bisa diperoleh gambaran betapa sulitnya kehidupan pribumi kala itu.

Tanggal kelahiran persis ayahku selalu saja luput dari ingatanku. Bukan apa-apa, sejak kecil sampai beliau meninggal dunia memang tidak ada tradisi keluarga untuk mengucapkan atau merayakan ulang tahun. Aku tahu bahwa kebiasaan itu tidak diajarkan oleh agama yang kami anut. Maka dalam seumur hidup ayah, tidak pernah ada ucapan ulang tahun dari keluarganya. Hal yang memang tidak penting-penting amat untuk dibiasakan karena tidak ada contohnya dalam agama.

Satu hal yang tidak bisa lepas dari sosok ayah adalah sifat pendiamnya. Dan hampir-hampir dalam sejarah hidupnya, aku tidak pernah melihat ayahku marah di depan anak-anak. Kalaupun harus marah, biasanya karena anak-anakanya sudah bandel dan tidak menuruti kata-katanya. Teringat saat kecil dulu, ketika aku tak mau meminum obat demam yang seharusnya segera aku minum namun aku menggeleng tak mau. Aku tahu obat dari puskesmas itu sangat pahit di lidah dan sulit ditelan. Kalau sudah begini, ayahku tak segan-segan membentakku sembari menjewer telingaku dengan keras. Bekas jeweran itu terasa panas dan meninggalkan jejak merah di telingaku. Tapi tindakan itu memang wajar. Sebelumnya ibuku sudah terlebih dahulu membujukku untuk segera meminum obat. Tapi bujuk rayu ibuku tak mempan. Jadilah ayahku harus turun tangan menyelesaikan kebandelanku. Dulu memang obat demam tidak pernah membuat anak kecil tertarik untuk meminumnya. Rasanya terasa sangat pahit di lidah dan kadang sulit untuk ditelan dengan mulus lewat kerongkongan. Maka kebiasaan orang tua jaman dulu jika hendak meminumkan obat demam kepada anaknya, pil pahit itu “dibungkus” atau "dibenamkan" ke dalam colekan pisang yang sudah matang dan lembek sehingga dapat mengurangi rasa pahitnya.

Sebagai pasangan guru dapat ditebak bahwa dulu ayahku bertemu jodoh dengan ibuku ketika aktif menjadi pengajar. Ya, kedua orang tuaku memang seorang pendidik, tepatnya guru SD (Sekolah Dasar). Di jaman dulu, profesi guru adalah pekerjaan yang jarang diambil orang. Jenjang pendidikannya membutuhkan waktu lama dan biaya tinggi. Oleh karena itu hampir jarang di desaku ada orang tua jaman dulu yang menyekolahkan anaknya sampai tinggi. Pameo atau pepatah orang tua jaman dulu mungkin masih banyak dipegang saat itu, "untuk apa sekolah tinggi-tinggi dan biaya pun mahal, yang penting cepat bekerja". Namun pameo ini tampaknya tak berlaku bagi kakek dan nenekku baik dari pihak ibu maupun ayah. Untuk merubah nasib kehidupan menjadi lebih baik, generasi kakek dan nenekku sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Maka kedua orang tuaku pun mampu mewujudkan keinginan dan cita-cita orang tua mereka. Menempuh pendidikan yang lebih tinggi di jalur guru telah menjadi batu fondasi yang kuat manakala anak-anaknya juga berhasil menyelesaikan pendidikannya dengan baik. Mereka tidak ingin generasi penerusnya bernasib tidak lebih baik dari dirinya.

Meski kadang dibalik sifat pendiam ayahku terselip sifat keras namun hal itu membawa kebaikan yang dirasakan seluruh anggota keluarga sampai sekarang. Karena sewaktu aku dan kakak-kakakku kecil, sifat keras dan tegas itu sudah ditunjukkan oleh ayah, maka ketika kami menginjak dewasa, ia sudah cukup puas dengan hasil yang ada. Tak ada lagi keperluan untuk menunjukkan sikap keras karena masing-masing anak sudah mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Tak banyak urusan kami yang terlalu dicampuri oleh ayahku karena ia sudah percaya bahwa kami dapat mengambil keputusan yang tepat dalam setiap persoalan.

Salah satu buah dari didikan keras ayah saat kami kepada anak-anak yang seluruhnya laki-laki ini adalah tidak ada satu pun yang menjadi perokok !. Padahal laki-laki ketika menginjak dewasa biasanya diidentikkan dengan barang yang satu ini. Bahkan lingkungan pergaulan yang salah dapat memunculkan pandangan yang keliru : laki-laki yang tidak merokok berarti bukan laki-laki jantan !. Namun itu tidak berlaku di keluarga kami.

Aku ingat sekali, sewaktu masih kecil, di halaman depan rumahku (dan rumah-rumah tetangga kanan kiri) terdapat pohon cengkeh. Ketika musim cengkeh berbuah, biasanya yang jatuh ke tanah adalah cengkeh-cengkeh yang sudah tua dan kering. Sementara cengkeh yang masih muda berwarna hijau dan tetap menempel di dahan kecil dalam kelompok-kelompok atau bergerombol. Namanya anak-anak jaman dulu yang suka iseng, cengkeh itu kadang digigit-gigit sehingga terasakan aroma pedasnya di bibir…hehe… Tapi ini belum apa-apa dibanding eksplorasi kecil-kecilan terhadap batang cengkeh yang sudah mengering. Ya, batang dari dahan cengkeh yang berukuran kecil itu bisa dipakai semacam batang rokok !. Di tengah batang cengkeh itu terdapat lubang berdiameter kecil yang cukup untuk mengalirkan udara maupun asap saat di salah satu ujungnya disulut dengan korek api dan bagian ujung lainnya disedot dengan mulut. Entah sebenarnya berbahaya atau tidak, tapi dengan cara seperti itu, rasa rokok memang menjadi murni rasa cengkeh. Anak-anak seusiaku lazim bermain rokok-rokokan seperti itu juga, jadi itu bukan hal yang aneh. Nah, ketika ayahku memergokiku menyedot rokok batang cengkeh itu, seketika itu ayahku akan sangat marah dan mengingatkanku agar menjauhi keisengan itu. Dulu karena keterbatasan ilmu, tentu anak sekecil aku tidak tahu ada apa di balik larangan itu. Tapi kalau bukan karena zat cengkehnya yang bisa membahayakan, bisa saja karena gerakan menghirup dan memegang batang cengkeh itu nantinya dapat memicu kebiasaan merokok betulan saat memasuki usia dewasa. Alhamdulillah hal itu tidak terjadi. Semua kakak-kakakku termasuk aku tidak pernah menjadi perokok apalagi sampai mengalami ketergantungan. Sementara di luar sana masih banyak anak-anak muda alay maupun yang berusia dewasa yang belum dapat memisahkan dirinya dari barang yang satu ini.

Kehebatan ayahku (dan juga ayah-ayah kalian) haruslah diakui dan patut diukir dalam jiwa meski mungkin tidak semua sosok ayah telah dapat memberikan yang terbaik bagi keluarganya. Ia memang bukan orang yang mengandung dan melahirkan kita namun ialah orang yang akan rela berkorban menjadi tulang punggung bagi keluarga. Jika perlu nyawa menjadi taruhannya. Jerih payah keringat ayah saat mencari rezeki hanya ditujukan untuk kebahagian keluarganya. Ia tidak banyak menuntut untuk terpenuhi kebutuhannya sebelum yang lainnya terpenuhi terlebih dahulu. Dan perlu diingat bahwa taraf kehidupan dan tingkat kesulitan hidup orang tua jaman dulu begitu berbeda dengan jaman sekarang. Pada awal-awal periode 1960-an terjadi masalah perekonomian nasional yang begitu hebat. Agenda “Ganyang Malaysia” dan upaya merebut Irian Barat yang dicetuskan Bung Karno mengakibatkan anggaran keuangan negara tersedot sangat besar sehingga meruntuhkan sendi-sendi ekonomi negara.

Aku jadi teringat saat ayahku diminta memberikan semacam pidato nasehat saat acara halal-bihalal di rumah eyangku atau di rumah orang tua ayahku sekitar tahun 1980-an saat usiaku sekolahku masih menginjak awal-awal SD. Saat di tengah-tengah tausiahnya di tengah-tengah keluarga besar, ia tiba-tiba tak mampu melanjutkan perkataan, tenggorokan seolah-olah tersumbat, dan isak kecil tangis mulai keluar dari raut wajahnya. Sesuatu yang sangat tidak lazim ketika ayah berada di tengah-tengah orang. Seluruh anggota keluarga besar pun ikut terdiam dan bagi kerabat yang seusia beliau pasti merasakan kepedihan yang sama. Aku pun yang mulai menerka-nerka, apa yang membuat ayahku terlihat begitu sedih di depan banyak orang. Dan asumsi yang menggelayuti pikiranku saat itu adalah bahwa karena teringat masa-masa sulit waktu masih muda itulah yang menyebabkan ia tiba-tiba merasakan kepedihan mendalam.

Itulah ayahku yang hebat meski cerita kehebatan itu hanya sekelumit saja yang dapat aku tuliskan. Masih banyak sisi-sisi kehidupan lain yang sosok ayah yang belum terungkap. Maka jangan lewatkan kebaikan ayahmu jika ia masih hidup. Dan jika sudah tiada pun tetaplah mengirimkan doa-doa terbaik baginya agar amal-amal ibadah maupun perjuangannya bagi keluarga dibalas dengan pahala kebaikan yang berlipat dari Allah SWT serta memperoleh surga-Nya.   


Rumah sederhana orang tua di kampung halaman

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda