Kisah Cinta Bertepuk Sebelah Tangan ; Barirah vs Mughits - POJOKCERITA

Tuesday, July 30, 2019

Kisah Cinta Bertepuk Sebelah Tangan ; Barirah vs Mughits

Drama kisah percintaan ala film-film Korea sebenarnya tidak hanya terjadi di jaman sekarang karena hal seperti itu sudah pernah terjadi saat-saat awal kedatangan risalah Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Salah satu kisah yang menyentuh hati adalah cerita panjang percintaan menyayat hati yang dialami Mughits kepada Barirah.

Dalam catatan sejarah Islam, baik Barirah maupun Mughits adalah sama-sama berangkat dari seorang budak yang dimiliki oleh masing-masing tuannya. Sebagaimana diketahui bahwa di jaman Arab masa dulu sudah menjadi hal biasa adanya praktek perbudakan baik yang dialami kaum wanita maupun pria.

Dialah Mughits, seorang laki-laki berkulit hitam legam yang menjadi budak dari Abu Ahmad bin Jahsi Al Asadi, salah satu dari sahabat Nabi SAW yang memeluk Islam sejak di Mekah. Mughits adalah budak yang berasal dari Afrika dan terdampar di kota Mekah sampai kemudian ditemukan oleh tuannya, Abu Ahmad. Karena pengabdiannya yang begitu luar biasa kepada tuannya, si Mughits ini mendapatkan perlindungan dan kasih sayang yang besar dari Abu Ahmad. Sampai kemudian jiwa Mughits pun terbuka menerima cahaya Islam sehingga membuat tuannya makin menyayangi dan mengistimewakan dirinya.

Karena Mughits sering melihat keromantisan cinta antara Abu Ahmad dan istrinya, ia pun ingin mendapatkan cinta dari seorang perempuan yang diharapkan menjadi pendamping hidupnya. Lalu Mughits meminta kepada tuannya untuk merestui niatnya mencari calon jodohnya dimana tuannya dengan senang hati memenuhi permintaan budak kesayangannya itu namun dengan syarat pernikahannya dilakukan setelah mereka berangkat hijrah ke Yatsrib sesuai dengan nubuwah Nabi Muhammad SAW agar kaum muslim berpindah ke kota itu.  

Sesampainya di Madinah, Abu Ahmad pun mulai membuka kesempatan kepada Mughits untuk mencari sendiri calon istri yang ia sukai. Hingga akhirnya bertemulah ia dengan seorang budak perempuan berkulit hitam namun manis dan cantik. Mughits menemukannya di salah satu rumah penduduk kaum Anshor dari Bani Hilal. Nama budak perempuan yang menjadi cinta pertama dan terakhirnya itu adalah Barirah.

Setelah yakin dengan tambatan hatinya, Mughits segera menemui Abu Ahmad guna menyampaikan hasratnya untuk mempersunting Barirah. Mughits tampaknya sudah tak sabar lagi untuk menjalin perjalanan cinta dengan pujaan hatinya itu di bawah naungan pernikahan yang halal dalam Islam. Maka Abu Ahmad pun mendatangi keluarga Bani Hilal dengan maksud mempersunting Barirah untuk Mughits.

Keluarga Bani Hilal sebenarnya sudah setuju dengan pinangan itu, namun apa daya, Barirah sendiri menolak menjadi istri Mughits. Cinta membara yang ada dalam diri Mughits ternyata bertepuk sebelah tangan. Sehebat-hebatnya Mughits dalam perkara kejujuran dan kebaikan lainnya dalam pribadi yang bersahaja, tidak membuat Barirah luluh hatinya. Itulah misteri cinta, tak ada yang dapat memaksa untuk datang dan tumbuh dari kedua belah pihak.

Mendengar bahwa pinangannya ditolak, hati Mughits hancur berkeping-keping bagai tersayat sembilu. Remuk redam seluruh perasaannya saat itu setelah mengetahui cintanya tak diterima Barirah. Hatinya terpukul dan hancur berantakan bak dipalu godam. Tak ada laki-laki yang akan kuat menerima kenyataan seperti yang dialami oleh Mughits. Dengan berbagai usaha, Mughits terus mendesak kepada majikannya untuk bernegosiasi dengan Bani Hilal dengan tujuan agar keputusan Barirah dapat berubah. Mughits sudah berketetapan tidak akan menikah dengan perempuan lain selain Barirah, sang pujaan hatinya.

Maka proses “diplomasi cinta” itu pun harus dilakukan oleh Abu Ahmad demi membantu keinginan budak kesayangannya itu. Setelah melalui beberapa kali pertemuan ulang dengan Bani Hilal, akhirnya berita bahagia pun diterima Mughits : Barirah mau menerima cintanya !. Sungguh luar biasa bahagianya hati Mughits. Namun tidak demikian dengan Barirah. Ia sebenarnya masih belum dapat memberikan cintanya kepada Mughits. Keputusan menerima pinangan itu hanya karena faktor keterpaksaan !.

Maka setelah pernikahan dilangsungkan, hari-hari Barirah tak berubah, ia tak bisa menumbuhkan rasa cinta kepada suaminya itu. Kehidupan rumah tangganya bersama Mughits dilalui dengan rasa hambar. Kewajiban sebagai seorang pasangan hanya merupakan wujud dari kepatuhan seorang istri kepada suami. Di balik itu ia tak bergairah sama sekali menjalani hari-hari bersama Mughits. Gejolak batinnya tak dapat dibohongi bahwa ia sama sekali tidak mencintai Mughits.

Untuk mencari kawan sebagai tempat mencurahkan keluh kesahnya, Barirah lalu pergi menemui ummul mukminin Aisyah ra. Ia sendiri memang sudah terbiasa membantu pekerjaan rumah Aisyah sehingga hubungan keduanya terjalin erat. Barirah menyampaikan permasalahan rumah tangganya yang begitu berat ia pikul. Ia menyatakan kepada Aisyah bahwa ia mau dinikahi Mughits karena faktor keterpaksaan dan kini tidak tahu harus berbuat apa untuk menyikapi kegundah-gulanaan itu. Meskipun Aisyah sudah memberikan nasehat kepada Barirah untuk bersabar dengan keadaaan itu namun Barirah tetap tak bisa mengubah kata hatinya. Semakin berusaha untuk mencintai Mughits justru semakin muncul rasa kebencian yang mendalam.

Di sisi lain Mughits pun mulai mengetahui hal yang sebenarnya dialami istrinya itu. Ia tahu Barirah tak mencintainya dengan tulus karena apa yang ditunjukannya selama ini hanya sekedar pemenuhan kewajiban istri kepada suami. Mughits kembali merasakan kesedihan karena makin lama bukannya benih-benih cinta yang ia dapatkan tetapi kebencian dari istrinya. Ia berjuang meyakinkan istrinya agar luluh dan dapat menerimanya apa adanya. Namun usaha itu tak membuahkan hasil.

Jalan terakhir yang berusaha ia lakukan adalah menunggu sikap Barirah setelah anak dalam kandungan istrinya lahir ke dunia kelak. Mughits berharap adanya kehadiran seorang anak dapat membuat benih-benih cinta Barirah dapat tumbuh kembali. Namun harapan itu pun pupus. Tak ada cinta yang diharapkan Mughits muncul dari diri Barirah. Makin ruwet bukan !. Maka Barirah kembali menemui Aisyah untuk berkonsultasi yang pada akhirnya ditemukan solusi dimana seorang wanita dapat menempuh hak khiyar (memilih untuk meneruskan pernikahan atau bercerai) dengan syarat wanita itu sudah terbebas dari perbudakan di saat suaminya masih berstatus budak.

Setelah melalui proses panjang akhirnya Barirah dapat lepas dari status budaknya melalui pembayaran dengan uang dengan bantuan Aisyah. Ia membawa uang yang diterima dari Aisyah untuk diserahkan kepada majikannya. Betapa gembiranya Barirah setelah bebas menjadi manusia biasa. Langkah selanjutnya yang ia tempuh adalah meminta Rasulullah SAW untuk dapat memisahkan dirinya dari Mughits. Ia berkata kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, aku memohon kepadamu agar kiranya sudi menceraikanku dari Mughits karena aku sekarang sudah merdeka sedangkan ia masih menjadi budak. Aku sudah tidak kuat hidup bersamanya lagi”. Selanjutnya diutuslah seseorang guna mengabarkan kepada Mughits bahwa Barirah telah memutuskan untuk bercerai darinya. Mendengar kabar menyakitkan itu, Mughits jatuh pingsan. Ia tidak bisa menerima kenyataan pahit yang harus ia alami. Rasa cintanya yang begitu mendalam dan tak tergantikan itu kini harus benar-benar pupus. Tak ada lagi semangat dalam mengarungi kehidupan pasca diceraikan Barirah. Ia menangis dan meratapi kesedihannya sepanjang hari. Kemana pun ia pergi, bayang-bayang Barirah tak bisa lepas dari pelupuk matanya. Jenggotnya basah oleh tetesan air mata yang seakan tak pernah bisa kering.

Rasulullah SAW begitu mengetahui kejadian yang dialami Mughits itu lalu berkata kepada Abbas bin Abdul Muthalib, “Wahai Abbas, tidakkah engkau takjub akan besarnya cinta Mughits kepada Barirah dan sebaliknya, kebencian Barirah kepada Mughits ?”. Jawab Abbas, “Betul, wahai Rasulullah. Sungguh kejadian yang mereka alami sangatlah aneh”. Langkah terakhir yang berusaha Nabi lakukan guna mencoba menengahi permasalahan itu adalah dengan membujuk Barirah untuk ruju’ dengan suaminya itu. Barirah sempat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Anda menyuruhku untuk ruju’ dengannya ?”. Barirah tahu bahwa apa yang disabdakan Rasul jika merupakan perintah maka wajib untuk dipatuhinya. Rasul hanya menjawab, “Aku hanya memberi saran begitu”. Maka karena bukan perintah, Barirah tak bergeming dan tetap pada pendiriannya. Maka berakhirlah kisah percintaan Mughits dengan Barirah.

Penutup

Kisah di atas memberikan banyak dimensi kehidupan tentang cinta antara laki-laki dan perempuan. Di satu sisi, ada sosok Mughits yang telah berjuang atas nama cinta sejatinya kepada Barirah. Namun perjuangannya yang panjang harus berakhir dengan ending yang tak memuaskan hatinya. Usahanya sia-sia dan tak membuahkan hasil. Kisah cintanya harus terkubur dalam-dalam dengan hanya menyisakan kepedihan mendalam.

Di sisi lain, Barirah juga harus berjuang untuk berusaha mencintai sosok Mughits. Namun karena cinta tidak dapat diciptakan, ia tidak berhasil menumbuhkan rasa itu kepada suaminya. Kesehariannya bersama Mughits tak lantas membuatnya jatuh cinta kepada Mughits. Bahkan sebaliknya, ia makin memendam rasa benci kepada suaminya.

Itulah makna cinta yang sesungguhnya, sesuatu hal yang tak bisa direkayasa sedemikian rupa sehingga membuat hati orang akan berubah dengan sendirinya. Semuanya bersumber dari relung hati yang paling dalam, karena cinta tak boleh ada paksaan.  

broken heart

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda