'Preangerstelsel' ; Sistem Tanam Paksa Kopi di Tanah Priangan (1720 - 1870) - POJOKCERITA

Sunday, May 31, 2020

'Preangerstelsel' ; Sistem Tanam Paksa Kopi di Tanah Priangan (1720 - 1870)

Kesuksesan Belanda memanem kopi Jawa (Java cofee) pada percobaan penanaman kedua di Perkebunan Kebon Kopi, Batavia memancing pemerintah Hindia Belanda untuk menciptakan lahan-lahan baru kebun kopi di luar wilayah Batavia.

Daerah terdekat yang mendapat kesempatan untuk dikembangkan sebagai perkebunan kopi adalah wilayah Priangan, Jawa Barat. Untuk mempercepat usaha ekstensifikasi lahan baru tersebut, Belanda memperkenalkan mega project melalui suatu sistem yang disebut Preangerstelsel.

Preangerstelsel merupakan sistem tanam paksa kopi yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda di wilayah Priangan atau Parahyangan atau Preanger pada tahun 1720. VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) sebagai perpanjangan tangan pemerintah Belanda yang bermarkas di Batavia berusaha keras mempertahankan dominasinya sebagai penguasa perdagangan rempah-rempah di wilayah Nusantara. 

Salah satu upaya yang dibuat VOC di Pulau Jawa adalah dengan menciptakan sistem tanam paksa pohon kopi dimana rakyat diwajibkan menanam pohon kopi pada lahan-lahan baru yang dibuka oleh VOC. Guna memuluskan programnya itu, VOC bekerja sama dengan para bangsawan dan penguasa lokal setempat guna menekan rakyatnya, tenutnya dengan perjanjian timbal balik yang saling menguntungkan kedua belah pihak. 

VOC dengan liciknya memanfaatkan kedudukan para menak, sentana, dan bangsawan Sunda saat itu untuk terlibat dalam memaksa rakyat kecil dalam mensukseskan program Preangerstelsel. Salah satu petinggi Sunda yang berhasil melaksanakan program tanam paksa kopi di daerah kekuasaannya adalah Raden Aria (R.A.) Wira Tanu III. Sejarawan mencatat bahwa Cianjur di bawah R.A. Wira Tanu III, pada tahun 1724, berhasil memanen kopi dalam jumlah besar sehingga memuaskan para pejabat VOC kala itu. Itulah masa-masa mulai dikenalnya Java coffee yaitu kopi berkualitas tinggi yang berasal dari perkebunan di wilayah Priangan khususnya Cianjur. Maka dapat dikatakan bahwa istilah populer “a cup of Java” merujuk pada kopi yang ditanam dan dipanen di Pulau Jawa yang utamanya dari daerah Priangan dengan basisnya di wilayah Cianjur dan sekitarnya. 

Masa keemasan kopi Jawa (Java coffee) itu tercapai pada tahun 1725 dimana Pulau Jawa (dan sebagian dari daerah lain) menjadi pensuplai terbesar kopi di dunia melalui VOC. Perdagangan kopi dunia berhasil dikendalikan oleh VOC yang mendapatkan market share antara 50% sampai 75% dari total jual beli kopi di seluruh dunia. Sedangkan wilayah Priangan, terutama Cianjur berjasa memberikan kontribusi produksi kopi Jawa sebanyak 50% dari total yang disetorkan ke VOC. 

Mengapa Pada Saat Itu Kopi Jawa (Java Coffee) Menjadi Begitu Spesial ?
  
Bibit kopi yang ditanam di Pulau Jawa, utamanya wilayah Priangan (yang meliputi Cianjur kala itu) berasal dari kopi yang berhasil ditanam mula-mula di Pondok Kopi, Batavia. Sedangkan kopi yang ditanam di Pondok Kopi itu awalnya didatangkan dari Malabar, India. 

Jika ditelusuri lebih lanjut, sesuai tulisan William H. Ukers dalam All About Coffee, bibit yang dari Malabar itu merupakan jenis arabica (arabika) yang dibawa dari Arab melalui Pelabuhan Mocha di Yaman. Varietas ini memang sangat cocok ditanam di dataran tinggi seperti Priangan. 

Kopi arabika (arabica coffee) memiliki keunggulan masa hidupnya yang lebih lama (sampai 30 tahun) dibanding robusta yang hanya mencapai 10 tahun. Ukers mengatakan, “Coffea arabica is the original or common Java coffee of commerce.” Dengan demikian pohon kopi yang awal-awal ditanam dan dikembangkan di Pulau Jawa adalah jenis arabika (arabica). Sedangkan secara morfologi, urutan klasifikasi kopi arabika dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Kingdom
:
Vegetable
Sub-Kingdom
:
Angiospermae
Class
:
Dicotyledoneae
Sub-class
:
Sympetalae or Metachlamydeae
Order
:
Rubiales
Family
:
Rubiaceae
Genus
:
Coffea
Sub-genus
:
Eucoffea
Species
:
C. arabica
Dari spesies Coffea arabica lalu dikembangkan pola hibridisasi tanaman kopi oleh sejumlah peneliti di jaman Hindia Belanda seperti yang pernah dilakukan di kebun percobaan di Bangelan, Jawa, pada tahun 1900. Dr. P.J.S. Cramer dalam studinya memperkenalkan berbagai varietas Coffea arabica diantaranya Laurina, Murta, Menosperma, Mokka, Purpurescens, Variegata, Amarella, Bullata, Angustifolia, Erecta, Maragopipe, dan Columnaris.  

Java coffee yang merupakan spesies jenis Coffea arabica menjadi andalan produksi kopi di jaman Belanda karena tanaman ini “menemukan” lokasi penanaman yang ideal yaitu lahan tanah berketinggian antara 1400 sampai 1800 mdpl, suhu udara 15 sampai 21 derajat Celcius, serta curah hujan sekitar 2000 mm per tahun. Maka jika dikaitkan dengan cerita jaman dulu ketika Bupati Raden Aria Wira Tanu III mampu menyetor kopi kepada VOC dalam jumlah fantastis, diperkirakan di sebagian besar wilayah Cianjur, terutama pada daerah yang memiliki rentang ketinggian 1080 sampai 2962 mdpl, diperkirakan dulunya menjadi sentra utama perkebunan kopi arabika di Priangan. 

Rasa atau taste dari Java coffee cenderung lighter, cleaner, dan brighter sebagai hasil pengolahan yang banyak menggunakan metode wet-processing pada sejumlah besar perkebunan kopi di Pulau Jawa. Dalam takaran dan komposisi yang tepat, kopi Jawa ini dapat menghasilkan aroma tipis rempah dengan kekentalan dan keasaman yang sedang. Nantinya kita bisa melihat bahwa dengan metode giling basah itu menjadikan kopi Jawa terasa tidak begitu kuat dibanding kopi Sumatera dan Sulawesi. Meski demikian para penikmat kopi Jawa pun masih banyak. Apalagi sampai saat ini budaya ngopi baik dalam skala rumah tangga maupun di tempat kerja dan warung-warung kopi masih bertahan.

Preangerstelsel yang Membawa Kematian Raden Aria Wira Tanu III 

Bupati R.A. Wira Tanu III (nama aslinya Raden Astramanggala) boleh dikatakan menjadi seorang Bupati Cianjur yang memperoleh kedudukan dan kekayaannya melalui tangan besi. Ia hanya mau tunduk kepada VOC karena bermotif politik uang dan kekuasaan, termasuk saat kedua belah pihak bekerja sama dalam menjalankan program Preangerstelsel. Rakyat yang dipimpinnya merasakan penderitaan dahsyat akibat keganasan sistem tanam paksa kopi. Tidak hanya itu, jika kedapatan petani kopi menjual kopinya kepada pihak lain (selain VOC melalui R.A. Aria Wira Tanu III) dipastikan penduduk tersebut akan mendapatkan hukuman yang berat.

Konon suatu ketika muncul kasus yang membuat amarah rakyat memuncak yaitu manakala pembayaran hasil panen kopi yang seharusnya diterima rakyat Cianjur sebesar 17,5 gulden namun hanya dibayar sebesar 12,5 gulden (ada selisih 5 gulden yang ditengarai ditilep alias dimakan sendiri oleh sang bupati). 

Maka ketika sedang lengah, ia tiba-tiba ditusuk oleh seorang penduduk biasa dengan alat tradisional khas Cianjur yang bernama condre. Tak lama, ia pun meninggal dunia dan tercatat dalam sejarah memimpin Cianjur selama 19 tahun (1707-1726).

Meskipun beredar versi lain yang menyatakan bahwa kematian Raden Astramanggala a.k.a Raden Aria Wira Tanu III itu bukan karena persoalan kopi (namun karena perkara cinta alias asmara), sejarah tetap mencatat bahwa pada masa kekuasannya, rakyat Cianjur harus mengalami penderitaan luar biasa akibat sistem tanam paksa kopi melalui program Preangerstelsel.

Preangerstelsel

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda