Puasa di Era 80-an dan Tradisi Unik yang Hilang dari Peradaban - POJOKCERITA

Wednesday, May 12, 2021

Puasa di Era 80-an dan Tradisi Unik yang Hilang dari Peradaban

Puasa di tahun 80-an memiliki nuansa yang berbeda dengan puasa di era milenial seperti saat ini. Meski boleh dibilang jadul namun romantika dan lika-liku bulan Ramadhan di jaman itu membawa kenangan tersendiri yang melekat sampai sekarang.

Generasi milenial pastinya tidak pernah merasakan bagaimana suasana puasa di jaman bapak dan ibunya dulu. Apalagi jika waktu itu hidup di pedesaan yang jauh dari hiruk pikuknya kehidupan kota. 

Dimulai dari sejak waktu sahur tiba, saat anak-anak mulai berkeliaran di sepanjang jalan desa, berkumpul bersama teman-teman sebayanya. Meski berkeliaran tapi mereka tidak melakukan kegiatan kriminal ala anak-anak alay jaman kini yang bisanya membuat keonaran dengan kebut-kebutan di jalanan. Anak-anak jaman itu hanya senang keluar di waktu sahur untuk berkeliling desa membangunkan warga bersantap sahur. Saya masih ingat bagaimana antusiasnya saya dan teman-teman sebaya kala itu. Kita masing-masing membawa peralatan musik sederhana untuk dipukul-pukul sembari saling tertawa sepanjang jalan desa. Salah satu alat musik andalan yang biasanya dibawa adalah jerigen minyak yang tidak terpakai. Fungsinya sebagai drum dengan bunyi yang paling dominan diantara alat musik lain. Ada juga teman yang membawa kentongan atau peralatan lain yang bisa menghasilkan suara musik. Jadilah sebuah ansambel ala kadarnya namun cukup terdengar di telinga warga yang masih tertidur. Tanpa kehadiran anak-anak itu, sebagian warga memang mengalami kesulitan karena tidak semua memiliki jam alarm yang dapat disetel secara otomatis kapan berdering.

Tradisi berikutnya adalah berjalan kaki pasca melaksanakan sholat subuh. Jika di kota Medan disebut “asmara subuh”, entah di Jawa apa namanya, saya lupa, sebut saja “jalan pagi”. Berbondong-bondong manusia dari berbagai lapisan usia berjalan kaki dari berbagai masjid setelah selesai sholat subuh dilaksanakan. Sehingga hal biasa jika anak-anak muda dan tua masih memakai sarung saat jalan-jalan itu dilakukan. Ibarat rombongan semut, mereka berjalan bergerombol melalui jalur jalan yang sama. Sembari bersenda gurau, mereka memanfaatkan momentum itu untuk merekatkan pertemanan. Saya masih ingat jalur yang biasanya dilalui di kala itu adalah dari desa tempat tinggal sampai ke arah jalur menuju SMP di kecamatan. Jika ditotal, jarak perjalanan itu bolak-balik dapat mencapai 2 sampai 3 kilometer. Sebuah kegiatan yang menyenangkan karena mengandung unsur keakraban dan olah raga.

Selanjutnya, sebelum masuk buka puasa, biasanya ada warga kampung, terutama yang berusia dewasa, bermain meriam bambu. Mengapa yang memainkan alat ini orang dewasa ? Karena tingkat kesulitannya tinggi dan sangat berbahaya jika dilakukan oleh anak-anak yang belum mengerti aspek keselamatan. Karena suara yang dihasilkan mirip suara bom yang menggelegar, tempat bermain harus berada di lokasi yang tidak terlalu berdekatan dengan rumah penduduk. Dulu umumnya di desa saya, pemain meriam bambu biasanya memainkan alat permainan itu di dekat sungai yang jauh dari pemukiman. Saking berbahayanya permainan ini, kadang ada saja terdengar kabar orang yang mengalami kecelakaan. Nah, di level anak-anak, meriam bambu itu digantikan oleh petasan atau mercon atau “dor-doran”, mulai dari petasan cabe rawit sampai mercon yang terbungkus gulungan kertas tebal. Pada level anak terkecil, paling-paling hanya boleh memainkan kembang api tangan yang lazimnya dilakukan di malam hari raya Iedul Fitri, saat warga bersuka cita menyambut hari kemenangan.

Memasuki jam buka puasa, anak-anak jaman dulu mulai berburu menu buka. Bagi yang berbuka di rumah, sepiring mangkok kolak pisang atau kolang-kaling menjadi santapan favorit sebelum masuk ke menu utama. Uniknya, jika saat itu sedang musim buah-buahan yang pohonnya ada di sekitar, anak-anak juga berburu buah-buahan yang jatuh dari atas pohon untuk kemudian disimpan dan dihidangkan saat buka puasa tiba. Salah satu yang dulu biasanya dikumpulkan adalah buah duku yang pohonnya berada di pekarangan belakang rumah. Cukup menyenangkan bukan ?!. Sesuatu yang tidak pernah ada di jaman serba digital saat ini.

Saat maghrib tiba, di masjid-masjid terhampar berbagai macam menu makanan berbuka yang disebut “takjil”  dimana tradisi ini masih berjalan sampai sekarang. Namun saat masuk isya dan sholat tarawih tiba, ada lagi jamuan makan yang disebut “jaburan” (Jawa). Di sini jenis makanan yang dihidangkan bukan makanan berat namun makanan-makanan ringan tradisional ala masyarakat tempo dulu. Salah satu panganan tradisional yang menjadi incaran jamaah sholat tarawih adalah kue nagasari yang terbuat dari adonan tepung beras yang di dalamnya terdapat potongan pisang. Mak nyus !. Jadi makanan itu dihidangkan saat setelah sholat tarawih dimana ada penceramah yang memberikan ceramah tarawih. Agar para jamaah merasa gembira dan betah di masjid, mereka disuguhi berbagai panganan tradisional yang dikumpulkan dari warga sekitar. Tidak ada patokan khusus jenis makanan apa yang dikumpulkan sehingga bisa berubah-ubah di setiap malamnya. Pembagian giliran jaburan (dan juga takjil) dibuat melalui lembaran kertas yang dikelompokkan dalam beberapa kelompok per malamnya. Biasanya dalam satu KK akan mendapatkan jatah giliran 2 sampai 3 kali selama bulan Ramadhan.

Satu lagi yang bakal sulit ditemui di jaman sekarang adalah tugas membuat rangkuman ceramah tarawih yang dibebankan oleh guru agama saat itu. Siapa yang dapat mengumpulkan isi rangkuman ceramah paling banyak (dari malam ke malam berikutnya) akan memperoleh nilai yang tinggi dari guru. Dan momentum yang paling seru adalah manakala rangkuman ceramah di buku tulis itu harus ditandatangani oleh sang penceramah. Setelah ceramah selesai, mulailah mereka berebutan maju ke arah penceramah untuk mendapatkan tanda tangan. Saat itu mirip ada artis yang dikerubuti wartawan media yang saling merangsek maju ke arah sang artis…he…he…he… Sayangnya buku saya yang di tahun 80-an menjadi saksi sejarah perburuan tanda tangan penceramah tarawih itu sudah tidak ketahuan disimpan di mana. Padahal nilai historinya tidak tergantikan dan dapat menjadi benda kenangan yang berharga.

Itulah cerita-cerita seru tentang nuansa Ramadhan di tahun 80-an. Tentunya tradisi di jaman dulu akan berbeda dengan jaman sekarang. Adanya kemajuan teknologi dan pergeseran cara hidup era milenial akan menggeser dan menghapus tradisi unik itu. Semuanya tinggal menyisakan kenangan…

puasa

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda