Kerajaan Sriwijaya; Didirikan oleh Menantu Raja Kerajaan Tarumanagara - POJOKCERITA

Thursday, September 14, 2023

Kerajaan Sriwijaya; Didirikan oleh Menantu Raja Kerajaan Tarumanagara

Sebelum diambil alih oleh Tarusbawa pada masa-masa akhir eksistensi Kerajaan Tarumanagara, kerajaan ini pernah dipimpin oleh Linggawarman dimana salah satu anak perempuannya, Sobakancana, menikah dengan Dapunta Hyang.

Dapunta Hyang itulah yang dinyatakan sebagai pendiri Kerajaan Sriwijaya yang disinyalir menurut Slamet Muljana, ia adalah nama lain dari Sri Jayanasa. Hal ini didasarkan pada penemuan Prasasti Talang Tuwo yang menyebutkan Maharajadiraja saat itu adalah Sri Jayanasa, sedangkan Prasasti Kedukan Bukit yang menyebutkan nama Dapunta Hyang dibuat pada rentang waktu yang tidak berjauhan. Sehingga kemungkinan besar nama Dapunta Hyang dalam Prasasti Kedukan Bukit dan Sri Jayanasa dalam Prasasti Talang Tuwo adalah merujuk pada satu orang yang sama.

Kata Sriwijaya sendiri ditemukan pertama kali dalam Prasasti Kota Kapur dimana pada tahun 1918, G. Coedes berhasil menjelaskan bahwa kata Sriwijaya adalah merujuk pada nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan dengan pusat pemerintahan di Palembang. Kerajaan ini dalam berita Cina dikenal dengan sebutan “She-li-fo-she” dimana pendapat bahwa She-li-fo-she yang terletak di tepi Sungai Musi, Palembang, pernah juga dikemukakan oleh Samuel Beal pada tahun 1884. Hanya saat itu, orang belum mengenal nama Sriwijaya.

Keberadaan Kerajaan Sriwijaya dapat diperoleh dari sejumlah prasasti dimana prasasti tertua yang diketemukan adalah Prasasti Kedukan Bukit di tepian Sungai Tatang, dekat Palembang yang berangka tahun 682 M. Prasasti ini berhuruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno yang isinya 10 (sepuluh) baris : (1) Dapunta Hyang manalap siddayatra dengan perahu pada tanggal 11 paro terang (suklapaksa), bulan waisaka, tahun 604 S (23 April 682 M); (2) Pada tanggal 7 paro terang bulan Jyestha (19 Mei 682 M), Dapunta Hyang berangkat dari Minanga membawa tentara dua laksa dan 200 peti (kosa) perbekalan menggunakan perahu serta 1312 orang tentara berjalan di darat; (3) Pada tanggal 5 paro terang, bulan Asadha (16 Juni 682 M) dengan sukacita mereka datang di suatu tempat dan membuat kota (wanua) dan Kerajaan Sriwijaya memperoleh kemenangan, perjalanannya berhasil dan seluruh negeri memperoleh kemakmuran.

Prasasti lainnya diketemukan di daerah Talang Tuo, sebelah barat Kota Palembang sekarang oleh Residen Westenenk pada tahun 1920 yang terdiri dari 14 baris dalam bahasa Melayu kuno dan ditulis dengan huruf Pallawa. Isinya antara lain tentang pembuatan kebun Sriksetra atas perintah Punta Hyang Sri Jayanasa.

Di Telaga Batu, dekat Palembang, juga ditemukan sebuah prasasti (Prasasti Telaga Batu) yang berbahasa Melayu Kuno dan berhuruf Pallawa. Pada bagian atas dari prasasti ini dihiasi tujuh kepala ular kobra berbentuk pilih dengan mahkota berbentuk permata bulat. Lehernya mengembang dengan hiasan kalung. Terdapat 28 baris dalam keadaan aus dan beberapa huruf sudah tidak terbaca. Prasasti ini tidak memuat angka tahun. J.G. de Casparis menyatakan bahwa isi dari prasasti ini adalah semacam kutukan-kutukan terhadap siapa saja yang melakukan kejahatan dan tidak mentaati perintah raja. Selain itu, prasasti ini juga memuat data-data penyusunan ketatanegaraan Sriwijaya seperti yuvaraja (putra mahkota), bhupati (bupati), senapati (pemimpin pasukan), kadatuan, dan lain-lain.  

Terkait kata “kadatuan”, Coedes menginterpretasikan sebagai “kantor dari datu” (datu itu semacam gubernur provinsi). Selain itu, mungkin Kerajaan Sriwijaya ini terbagi menjadi beberapa “mandala” yang masing-masing diperintah oleh datu.

Terdapat lagi Prasasti Kota Kapur yang diketemukan di dekat Sungai Menduk di Pulau Bangka bagian barat dengan angka tahun 686 M. Prasasti ini mungkin dibawa dari luar pulau mengingat jenis batu yang dipakai tidak dijumpai di pulau ini. Isinya terdiri dari 10 baris kutukan kepada mereka yang berbuat jahat dan tidak tunduk pada raja. Namun keterangan terpenting adalah adanya usaha Sriwijaya untuk menaklukkan bhumi jawa.

Berdasarkan baris kalimat di atas, G. Coedes berpendapat bahwa pada saat Prasasti Kota Kapur dibuat, tentara Sriwijaya baru saja berangkat untuk berperang melawan kerajaan di Jawa yaitu Kerajaan Taruma. Namun menurut Boechari, Prasasti Kota Kapur ini dikeluarkan setelah tentara Sriwijaya kembali dari usahanya dalam menaklukkan daerah Lampung Selatan karena Jawa Barat di dalam sumber-sumber sejarah selalu disebut Sunda. Tetapi Satyawati Suleiman menyatakan bahwa dengan melihat persaingan yang terus-menerus antara Sriwijaya dan Jawa pada abad-abad kemudian, besar kemungkinan bahwa Prasasti Kota Kapur merupakan bukti usaha Sriwijaya untuk pertama kalinya menundukkan Jawa yang sudah ada sejak abad V.  

Prasasti lain yang hampir sama bunyinya dengan Prasasti Kota Kapur adalah Prasasti Karang Brahi di tepi Sungai Merangin, cabang Sungai Batang Hari di Jambi Hulu. Sementara itu, di daerah Palas Pasemah diketemukan sebuah prasasti yang isinya hampir sama dengan Prasasti Kota Kapur dan Karang Brahi. 

Terdapat prasasti singkat berupa 2 (dua) buah fragmen prasasti dari tanah liat. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Sansekerta. Prasasti pertama disimpan di Museum Nasional Jakarta yang berasal dari Kampung Sabukingking, 2 Ilir bagian timur Kota Palembang. Isinya berupa berita kemenangan raja Sriwijaya atas bala tentaranya sendiri yang membangkang. Prasasti kedua juga diketemukan di lokasi yang sama dan disimpan di Museum Nasional Jakarta. Isinya tentang kemenangan Sriwijaya atas tentara musuh.

Meskipun terdapat sejumlah teori terkait lokasi pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya namun menurut Boechari, setelah tahun 682 M, ibukota Sriwijaya berpindah dari Batang Kuantan ke Mukha Upang, Palembang. 

Dalam perjalanan sejarahnya, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya kemunduran Kerajaan Sriwijaya. Salah satunya yang menyebabkan Kerajaan Sriwijaya runtuh adalah dikarenakan adanya serangan dari kerajaan lain yang berada di sekitar kerajaan tersebut. Pada tahun 992 M, Raja Teguh Dharmawangsa dari Kerajaan Medang menyerang wilayah selatan Kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 1017 M, Sriwijaya juga mendapat serangan dari Colamandala yang dipimpin oleh Raja Rajendracola. Lalu pada tahun 1025 M, Colamandala mengulangi penyerangan dan menahan Raja Sanggramawijayatunggawarman yang saat itu menjabat sebagai Raja Sriwijaya. 

Puncak dari serangan yang dilakukan oleh kerajaan lain adalah pada tahun 1377 M saat muncul serangan serta pendudukan yang dilakukan oleh Kerajaan Majapahit atas seluruh wilayah Kerajaan Sriwijaya. Serangan tersebut dipimpin oleh Adityawarman atas perintah dari Gajah Mada sebagai upaya untuk menyatukan wilayah Nusantara.

Referensi :

Buku “Sejarah Nasional Indonesia” karya Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Balai Pustaka. 1993.  

Sriwijaya

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda