Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani dan Hayam Wuruk - POJOKCERITA

Monday, April 1, 2024

Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani dan Hayam Wuruk

Pasca selesainya Jayanagara berkuasa di tahun 1328 M, ia tidak meninggalkan keturunan sehingga tahta Kerajaan Majapahit diserahkan kepada Ibu Suri Gayatri, istri Kertarajasa. Namun karena Gayatri memilih menjadi bhiksuni, kekuasaan Majapahit kemudian diserahkan kepada putri sulung Kertarajasa yaitu Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani atau Bhre Kahuripan.

Tribhuwanottunggadewi kawin dengan Cakradhara atau Cakreswara yang menjadi raja di Singasari (Bhre Singhasari) dengan gelar Kertawarddhana. Sedangkan adik Tribhuwanottunggadewi yaitu Rajadewi Maharajasa (Bhre Daha) menikah dengan Kudamerta yang menjadi Bhre Wengker.

Dalam Kakawin Nagarakrtagama diketahui bahwa pada masa pemerintahan Tribhuwanottunggadewi telah terjadi pemberontakan di Sadeng dan Keta. Namun pemberontakan itu dapat diatasi oleh Gajah Mada. Sesudah peristiwa itu, terjadi peristiwa berikutnya yang dikenal dalam sejarah sebagai Sumpah Palapa oleh Gajah Mada. Ia bersumpah di hadapan penguasa dan para pembesar Majapahit bahwa ia tidak akan “amukti palapa” sebelum dapat menaklukkan nusantara.

Pada tahun 1334 M lahirlah putra mahkota yang bernama Hayam Wuruk. Selanjutnya, setelah berkuasa kurang lebih selama 22 tahun, ia mengundurkan diri dan tahta kerajaan diserahkan kepada anaknya, Hayam Wuruk. Pada tahun 1372 M, Tribhuwanottunggadewi meninggal dunia dan didharmakan di Panggih.

Puncak Kejayaan Kerajaan Majapahit pada Masa Hayam Wuruk

Pada tahun 1350 M, putra mahkota, Hayam Wuruk, dinobatkan menjadi raja Majapahit yang bergelar Sri Rajasanagara. Di saat ibunya, Tribhuwanottunggadewi, masih berkuasa, ia telah diangkat menjadi raja muda.

Dalam menjalankan pemerintahannya, Hayam Wuruk didampingi oleh Gajah Mada sebagai patih. Jabatan ini sudah diperoleh Gajah Mada sejak Tribhuwanottunggadewi masih berkuasa di Majapahit.

Dengan bantuan Gajah Mada, Hayam Wuruk berhasil membawa Majapahit ke puncak kejayaan di mana Gajah Mada ingin melaksanakan gagasan politik nusantara yang dicetuskan melalui Sumpah Palapa. Satu persatu daerah yang belum bernaung di bawah panji kekuasaan Majapahit berhasil ditundukkan. Dimulai dari penaklukan ke daerah Swarnabhumi (Sumatera), Pulau Bintan, Tumasik (Singapura), Semenanjung Malaya, Bali, Lombok, dan sejumlah negeri di Kalimantan. Ia bahkan terus melakukan penaklukan ke wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwu, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar, Solor, Bima, Wandan, Ambon, Waniin, Seran, Timor, dan Dompo. Menurut Nagarakrtagama, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik, dan sebagian Kepulauan Filipina.

Peristiwa Bubat

Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit juga menempuh jalan diplomasi dengan menjalin persekutuan. Namun karena didorong alasan politik, Hayam Wuruk berhasrat mempersunting Dyah Pitaloka dari Kerajaan Sunda. Pada waktu itu Raja Hayam Wuruk bermaksud mengambil putri dari Sunda, Dyah Pitaloka sebagai permaisurinya. Lamaran Hayam Wuruk diterima pihak Kerajaan Sunda dimana selanjutnya rombongan besar Kerajaan Sunda datang ke Majapahit. Namun setelah rombongan putri dan ayahnya telah sampai di Majapahit, timbul perselisihan. Gajah Mada tidak menghendaki perkawinan Raja Hayam Wuruk dengan Dyah Pitaloka dilangsungkan begitu saja. Gajah Mada menginginkan agar pernikahan itu menjadi wujud pengakuan ketundukan Sunda terhadap Majapahit. Para pembesar Sunda tidak setuju dengan sikap Gajah Mada tersebut. Akhirnya tempat kediaman rombongan Kerajaan Sunda dikepung dan diserang tantara Majapahit. Terjadilah peperangan di Bubat yang menyebabkan semua rombongan Sunda gugur. Dyah Pitaloka melakukan bunuh diri setelah ayah dan seluruh rombongan gugur dalam pertempuran. Peristiwa ini dikemukakan secara panjang lebar dalam Kitab Pararaton dan Kidung Sundayana. Politik Majapahit untuk menyatukan nusantara pun berakhir pada tahun 1357 M akibat terjadinya Perang Bubat itu.

Setelah peristiwa Bubat itu, Gajah Mada kemudian “mukti palapa”, mengundurkan diri dari jabatannya meskipun beberapa waktu kemudian ia aktif lagi di pemerintahan. Dalam Kakawin Nagarakratagama disebutkan bahwa Raja Hayam Wuruk pernah menganugerahkan sebuah sima kepada Gajah Mada yang kemudian diberi nama “darmma kasogatan” Makadipura. Di tempat inilah agaknya Gajah Mada diperkirakan menetap selama mukti palapa.

Gajah Mada meninggal dunia pada tahun 1364 M setelah lebih dari 30 tahun mengabdi kepada Majapahit. Raja Hayam Wuruk dan seluruh punggawa Kerajaan Majapahit merasakan dua cita mendalam karena kehilangan tokoh besar Majapahit. Tidak ada seorang sosok pun yang mampu menggantikan kedudukan Gajah Mada. Akibatnya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk pernah terjadi kekosongan posisi patih hamangkubhumi selama kurang lebih 3 tahun. Masa kekosongan itu berakhir saat Hayam Wuruk mengangkat Gajah Enggon sebagai patih hamangkubhumi. Sepeninggal Hayam Wuruk, Majapahit pelan-pelan mengalami kemunduran.

raja dan ratu Majapahit

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda