Pendakian Gunung Manglayang via Baru Beureum, Jatinangor, Kabupaten Sumedang - POJOKCERITA

Saturday, December 7, 2019

Pendakian Gunung Manglayang via Baru Beureum, Jatinangor, Kabupaten Sumedang

Jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul 08.05 WIB. Setelah segelas kopi hitam amblas disruput habis dengan menyisakan ampas kopi di Warung Mak Ipah, kini saatnya memulai pendakian solo secara “tek-tok” ke puncak Gunung Manglayang berketinggian 1.818 mdpl.

Dengan semangat 45, saya mulai melangkahkan kaki keluar dari warung untuk memutar ke arah belakang dengan membawa tas carrier yang isinya sangat minimalis : beberapa botol minuman, roti, baju ganti, dan jas hujan !.

Sambil melihat situasi kanan kiri, pandangan mata tertuju pada sebuah plang hijau yang berdiri di area belakang warung yang bertuliskan “Tanah Milik Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan Dikelola oleh Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. Pengunjung dilarang : (1) menggarap/memperjualbelikan/memindahtangankan tanah garapan (2) memanfaatkan lahan untuk kepentingan lainnya (3) menebang pohon/membakar/menggembalakan ternak (4) merusak sarana dan prasarana (5) mendirikan bangunan/membuang sampah, dan (6) berburu, membawa/mengangkut tumbuhan dan satwa liar”.

Setelah melangkahi sebuah aliran sungai kecil alias selokan yang airnya jernih dan suaranya bergemericik,  kaki terus berjalan melewati perkebunan jeruk nipis yang tak begitu luas. Lalu mulailah terlihat sebuah pemandangan trek awal lurus yang agak landai dan belum begitu kelihatan terjalnya. Hati masih merasa riang karena optimis bahwa dengan kemiringan sekitar 30 derajat, tentu tak akan sulit melewatinya.

Awalnya jalan yang dilalui hanya berupa tanah keras biasa tanpa bebatuan namun makin lama kontur tanah makin tidak rata dan makin ke atas sudut kemiringannya makin besar, lebih dari 45 derajat. Dan jika dicermati lebih lanjut, trek tersebut di tengah-tengahnya merupakan jalur aliran air yang turun dari atas gunung, semacam selokan kecil yang siap menggelontorkan “air bah” saat musim hujan tiba. Untungnya saja pada saat saya ke sana di bulan Oktober 2019 lalu belum masuk musim penghujan sehingga kondisi tanah cukup stabil dijadikan sebagai pijakan sepasang sepatu yang saya pakai. Bayangkan saja jika hujan turun, jalur tersebut dipastikan akan licin sehingga menyulitkan gerakan kaki untuk melangkah naik. Namun di saat musim kemarau, pilihan yang harus dihadapi adalah debu yang beterbangan ke mana-mana. Maka tak ada salahnya jika Anda harus mempersiapkan kain penutup sebagai masker pelindung hidung dan mulut.

Tingkat kehati-hatian dan kewaspadaan mulai harus dinaikkan levelnya saat memasuki trek yang makin terjal dan di kanan kirinya terdapat jurang. Terkadang tangan harus menggapai bebatuan atau akar pohon yang menjulur di sepanjang kanan dan kiri jalur pendakian. Celana panjang yang dipakai sudah mulai kotor oleh tanah dan debu. Nafas pun mulai terasa berat dan tenaga mulai kendor, maka tak ada jalan lain untuk sejenak beristirahat di beberapa titik guna mengambil udara segar serta menambah stamina yang berkurang. Minuman penambah energi semacam Pocari Sweat terasa begitu berharga di saat-saat seperti itu.

Saya tiba di Pos 2 pada jalur pendakian gunung tersebut pada pukul 09.25 WIB atau setelah berjalan sekitar 1 jam 20 menit dari Warung Mak Ipah yang boleh disebut sebagai Pos 1. Namun jangan dibayangkan bahwa di pos tersebut berdiri sebuah bangunan permanen semacam shelter untuk tempat beristirahat. Yang ada hanya sepetak tanah datar dimana pendaki dapat memanfaatkan tempat itu untuk melepas penat sembari mengumpulkan tenaga kembali sebelum melanjutkan pendakian.

Dari Pos 2 ke Pos 3 masih didominasi oleh jalur yang terjal dengan beberapa batang pohon terlihat tumbang menghalangi trek tanah kering dan berdebu. Sampailah di Pos 3 pada pukul 09.40 WIB atau hanya memerlukan waktu sekitar 15 menit saja dari Pos 2. Di sini saya kembali berdiam diri sejenak sambil mengumpulkan tenaga yang masih ada. Minum air yang cukup harus tetap dilakukan agar terhindar dari dehidrasi. Dan perlu diingat bahwa di sepanjang jalur pendakian Gunung Manglayang ini tidak ada aliran sungai atau sumber mata air sehingga sangat disarankan untuk membawa bekal minuman yang cukup selama menjalani petualangan menaiki gunung tersebut.

Dari Pos 3 menuju Pos 4 atau lokasi camping ground yang berdekatan dengan Puncak Bayangan memerlukan waktu sekitar 10 menit saja dari Pos 3 karena tingkat kesulitan trek-nya tidak seperti jalur di bawah. Sepanjang jalur ini juga sudah rapat ditumbuhi pepohonan yang tinggi dan rindang sehingga cukup membuat pendaki terlindung dari sengatan matahari langsung dari atas.

Tiba saatnya untuk beristirahat lebih lama di Pos 4. Tas ransel dibongkar untuk mencari “harta karun” berupa roti sebagai penghilang rasa lapar. Begitu juga sebotol lemon tea segera ludes masuk kerongkongan. Di sini terlihat beberapa pendaki sudah tiba terlebih dahulu, mungkin mereka melakukan pendakian di malam hari sebelum paginya saya melangkahkan kaki dari Warung Mak Ipah. Dan untuk memperoleh kepuasan batin, saat tiba di Pos 4, Anda dapat sepuasnya menikmati pemandangan indah nan luas Kota Bandung dan sekitarnya di sebuah bukit kecil yang berada tak jauh dari Pos 4. Lokasi itulah yang dikenal dengan sebutan Puncak Bayangan (biasanya pada beberapa gunung terdapat puncak yang bukan merupakan titik tertinggi namun mirip kondisinya seperti di tempat yang sebenarnya diburu para pendaki).

Setelah puas mengambil beberapa swa foto di Puncak Bayangan, saya yang pada awalnya bermaksud meneruskan perjalanan menuju puncak Gunung Manglayang yang sesungguhnya, ternyata salah arah. Trek yang saya lalui malah menuju arah kembali turun ke Baru Beureum sehingga misi “menduduki” puncak Manglayang tidak terwujud. Namun demikian, bisa tiba di Puncak Bayangan juga merupakan kepuasan tersendiri. Dan secara pendapat beberapa pendaki yang sudah pernah ke sana, titik yang banyak diincar pendaki adalah di Puncak Bayangan karena di sanalah pendaki akan mendapatkan bonus pemandangan yang ciamik seantero Kota Bandung terutama wilayah timur. Lebih mantap lagi jika pendaki bermalam di sana sehingga dengan mata telanjang dapat melihat temaram warna-warni lampu kota yang bersinar di kejauhan.

Beberapa saat di Puncak Bayangan, saatnya untuk turun dan meninggalkan jejak pendakian Gunung Manglayang ketika jam menunjukkan pukul 10.30 WIB. Keharusan untuk segera turun selain disebabkan karena misi pendakian yang hanya bersifat “tek-tok”, pada malam hari Minggu itu juga saya harus kembali ke Jakarta menggunakan jasa shuttle travel yang sudah dipesan sebelumnya. Jangan sampai terpaksa telat masuk kantor hanya gara-gara berlibur dan lupa untuk pulang kembali ke tempat asal.

Bagaimana dengan perjalanan menuruni Gunung Manglayang ini ?. Sekilas kelihatannya mudah saja, toh hanya turun saja. Namun jangan disangka semudah itu. Ketika naik, tenaga yang diperlukan hanya untuk menarik beban badan ke atas, namun ketika turun, beban atau berat badan sendiri yang justru menjadi problem. Di saat sendi-sendi lutut masih lemas alias lunglai, kita harus menahan berat badan saat berjalan berdiri. Maka jalan satu-satunya untuk mengurangi beban tubuh sendiri itu adalah dengan berjalan dengan posisi bagian punggung berada dekat tanah atau pantat langsung mengenai tanah dengan tangan menahan beban tubuh. Jika sudah tidak kuat terpaksa harus menggelosorkan diri seperti akan terjun bebas namun harus tetap ekstra hati-hati dimana tangan harus berusaha menggapai pegangan yang kuat seperti akar pohon atau bebatuan keras. Tentu saja debu dari tanah yang tergesek akibat gerakan “penggelosoran” ini lebih dahysat sehingga kain penutup mulut dan hidung sebaiknya tetap dipakai.

Dapat disimpulkan bahwa pendakian saya dari start Warung Mak Ipah sampai di Puncak Bayangan memerlukan waktu sekitar 1 jam 45 menit dengan rincian trekking : 1 jam 20 menit (Warung Mak Ipah – Pos 2) + 15 menit (Pos 2 – Pos 3) + 10 menit (Pos 3 – Pos 4 atau Puncak Bayangan). Catatan waktu ini mungkin dapat dikatakan relatif cepat (dalam kondisi tidak ada “bonus” sepanjang jalur pendakian) karena ritme waktu dapat saya atur sendiri, berbeda dengan rombongan yang mungkin akan bergantung pada kecepatan individu-individu lainnya.

Sementara total waktu perjalanan turun dari Puncak Bayangan sampai Warung Mak Ipah sekitar 1 jam 30 menit. Artinya tidak banyak berbeda waktunya saat naik ke atas. Siang itu sebelum meninggalkan lokasi, saya menyempatkan mampir di Warung Mak Ipah untuk memesan segelas teh manis guna memulihkan tenaga yang hilang. Selanjutnya saya pun mengontak mamang ojek yang pagi tadi mengantar saya dari Jatinangor ke warung ini untuk menjemput saya kembali turun ke bawah.

Manglayang

Gunung Manglayang

Gunung Manglayang

Gunung Manglayang

Manglayang

Manglayang

Manglayang

Manglayang

Gunung Manglayang

Gunung Manglayang

Manglayang

Gunung Manglayang

Manglayang

Gunung Manglayang

Gunung Manglayang

Gunung Manglayang

Gunung Manglayang

Manglayang

Manglayang

Manglayang

Gunung Manglayang

Gunung Manglayang

Manglayang

Puncak Bayangan

Gunung Manglayang

Puncak Bayangan

Manglayang

Gunung Manglayang

Puncak Bayangan

Manglayang

Manglayang

Manglayang

Gunung Manglayang

Manglayang

Manglayang

Manglayang

Gunung Manglayang

Gunung Manglayang

Manglayang

Manglayang

Manglayang

Manglayang

Manglayang

Manglayang

Manglayang

Manglayang

Manglayang

Manglayang

Gunung Manglayang

Manglayang

Gunung Manglayang

Gunung Manglayang

Puncak Bayangan

Puncak Bayangan

Puncak Bayangan

Puncak Bayangan

Manglayang

Puncak Bayangan

Puncak Bayangan

Puncak Bayangan

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda