Permasalahan Syar’i pada Tabungan Emas - POJOKCERITA

Monday, January 23, 2023

Permasalahan Syar’i pada Tabungan Emas

Jika secara tradisional kita melakukan saving dan investasi dengan cara menabung uang dengan membuka buku tabungan di bank maka di dunia modern ini mulai muncul jenis tabungan lain yaitu berupa tabungan emas. 

Keunggulan berinvestasi di emas dikarenakan kebal inflasi dimana peningkatan pergerakan inflasi akan diimbangi dengan peningkatan harga emas. Nilai emas akan terus meningkat karena telah menjadi komoditas yang terbatas sehingga cukup likuid untuk diperdagangkan. 

Di Indonesia terdapat 3 (tiga) jenis bentuk emas yaitu : (1) Emas batangan (fine gold) dengan takaran 24 karat yang dapat dicetak dalam berat 1 gram sampai 1 kilogram. Nilai emas di Indonesia biasanya akan mengacu pada nilai emas yang diproduksi oleh PT. Antam. Jenis emas batangan ini menjadi bentuk investasi emas yang paling baik dibanding berupa koin atau perhiasan karena emas batangan masih memiliki kadar 24 karat. (2) Koin emas dimana terdapat 2 (dua) jenis yaitu koin emas murni (24 karat) dan koin emas tidak murni misalnya dinar (22 karat). Emas dinar inilah yang menjadi alat tukar yang dulunya dipakai di jaman Nabi SAW. (3) Perhiasan emas dimana emas batangan dilebur dengan unsur logam lain (perak, tembaga, nikel, timah putih) untuk dibuat menjadi perhiasan seperi gelang, cincin, anting, kalung, liontin, dan lain-lain. 

Selain jual beli emas secara online dimana tidak hanya objek emas yang dikirim ke pembeli, muncul inovasi lain dimana emas yang dibeli itu tidak diserahkan langsung ke pembeli namun disimpan dalam bentuk tabungan emas. 

Dengan mengacu pada praktek yang dilakukan oleh sebuah lembaga pegadaian syariah, calon nasabah tabungan emas dapat membuka rekening dengan membayar biaya pembukaan sebesar Rp 10.000,00 dengan minimum saldo awal tabungan emas seberat 0,01 gram yang dihargai pada waktu pembukaan senilai Rp 7.000,00. Biaya lain adalah fasilitas penitipan emas per tahun sebesar Rp 30.000,00 (karena emas yang dibeli pembeli tidak diserahkan langsung dalam bentuk fisik). Cara ini menjadi terobosan baru dimana di jaman orang tua dulu, mereka akan membeli emas ke toko emas lalu emas itu disimpan di rumah atau dibawa ke bank untuk dititipkan di loker penyimpanan emas di sana. Metode tradisional ini kini diubah dengan metode tabungan emas dimana nasabah tidak harus mengumpulkan nominal uang yang besar guna membeli emas namun dapat dimulai dari ukuran yang paling kecil yaitu 0,01 gram. Di sinilah terjadi jual beli emas dengan sistem titipan dimana akad yang digunakan adalah akad salam karena dengan ukuran yang kecil itu tidak dapat dicetak secara fisik. Adapun agar dapat memperoleh emas batangan secara fisik, nasabah harus melakukan order pencetakan emas dengan ukuran minimal 1 gram. Nah, pencetakan emas seberat ini juga akan dikenakan biaya, misal di PT. Antam akan dikenakan biaya cetak sekitar Rp 85 ribu untuk 1 gram emas.

Permasalahan syar’i yang terjadi dalam tabungan emas ini adalah adanya jual beli barang ribawi yang dilakukan tidak secara tunai atau tidak dari tangan ke tangan atau tidak yadan bi yadin karena dengan metode transaksi melalui online atau aplikasi yang disediakan lembaga pegadaian itu menyebabkan terhalangnya transaksi jual beli secara tunai. Hadits dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah SAW bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama timbangan atau takarannya, dan dibayar tunai atau kontan. Apabila jenis yang diperjualbelikan berbeda maka jual-lah sesuai dengan kehendakmu (boleh yang satu lebih banyak dari yang lain) asalkan dilakukan secara tunai” (HR. Muslim). 

Pada layanan tabungan emas digunakan metode jual beli secara tidak tunai (tidak yadan bi yadin) dimana nasabah misalnya hanya membeli emas seberat 0,01 gram namun tidak dapat diterima nasabah karena syarat minimum pencetakan emas adalah seberat 1 gram. Meskipun ada yang berpendapat bahwa dalam hal ini terjadi akad salam namun tidak sejalan dengan hadits Nabi SAW yang mensyaratkan jual beli emas wajib dilakukan secara tunai dan tidak boleh ada penangguhan. Hal ini dikuatkan dengan adanya Keputusan Majma’ Al Fiqh Al Islami (Divisi Fikih OKI) No. 52 Tahun 1990 yang menyimpulkan, “Kaidah-kaidah yang telah disebutkan di atas tidak dapat diterapkan untuk akad nikah karena disyaratkan harus ada saksi, juga tidak dapat diterapkan untuk sharf (tukar-menukar mata uang atau jual beli emas dan perak) karena disyaratkan harus serah terima barang dan uang secara tunai.” Sementara itu, dalam Keputusan AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) pada baba salam dinyatakan, “Tidak diperbolehkan jika kontrak salam itu berkaitan dengan mata uang, emas, atau perak.”

Akibat dari ketidakpastian bahwa untuk emas berukuran terkecil yaitu 0,01 gram tidak mungkin dapat dikirimkan secara fisik kepada nasabah maka dapat berpotensi terperosok dalam perkara gharar yaitu gharar pada objek akad (akibat terjadi pelanggaran di salah satu rukun jual beli) baik yang berupa ketidakjelasan wujud barang, ketidakjelasan sifat barang, ketidakjelasan kepemilikan barang bukan pada penjual, dan tidak dapat diserahterimakan barang yang sudah dibeli. Diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam ra., ia berkata, “Hai Rasulullah! Seseorang mendatangiku untuk membeli suatu barang sedangkan barang tersebut tidak sedang kumiliki, apakah boleh aku menjualnya lalu aku membeli barang tersebut dari pasar? Maka Nabi SAW berkata, “Jangan engkau jual barang yang belum engkau miliki!” (HR. Abu Dawud).

Gharar selanjutnya terjadi pada adanya gabungan 2 (dua) akad dalam 1 (satu) transaksi jual beli dimana pada layanan tabungan emas paling tidak terdapat 2 (dua) akad sekaligus yaitu akad salam (jual beli secara tidak tunai) dan akad wadi’ah (titipan). Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra., Nabi Saw bersabda, “Tidak halal menggabungkan utang dengan jual beli, tidak pula dua syarat dalam jual beli, tidak pula keuntungan tanpa ada pengorbanan, dan tidak pula menjual barang yang tidak kamu miliki” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi).

Bagaimana dengan Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010?

Dalam fatwanya, DSN-MUI menyatakan bahwa jual beli emas secara tidak tunai diperbolehkan baik jual beli biasa maupun murabahah selama emas tidak menjadi alat tukar resmi (uang). Namun demikian, terdapat pendapat lain yang menyatakan bahwa meskipun emas dan perak tidak lagi digunakan sebagai alat tukar namun tidak serta merta menghilangkan ‘illat tsamaniyah pada benda tersebut sebab pada kenyataannya, emas dan perak hingga sekarang masih digunakan oleh negara sebagai cadangan devisa sebagaimana termuat dalam Pasal 13 UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dengan demikian, emas dan perak masih memiliki ‘illat tsamaniyah yang tidak dapat berubah meski sekarang tidak lagi digunakan sebagai alat tukar. Orang sudah mahfum bahwa membeli emas memiliki tujuan sebagai sarana investasi dimana menjadikan emas sebagai sarana investasi juga merupakan salah satu fungsi dari uang. Menurut Syaikh Yusuf al-Qardhawi, uang kertas yang digunakan saat ini juga berlaku hukum riba sebagaimana emas dan perak. Adapun rujukan fatwa DSN-MUI yang mendasarkan diri pada pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim dinilai lemah dan tidak sejalan dengan pendapat mayoritas ulama dimana pendapat kedua tokoh tersebut tidak dianggap oleh Majma’ Al Fiqh Al Islami. 

Referensi :

“Praktek Transaksi Jual Beli Emas secara daring di PT. Pegadaian Syariah Pekanbaru dalam Perspektif Hukum Islam” oleh Afdol, Fakultas Hukum Universitas Islam Riau Pekanbaru. 2020. 

tabungan emas

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda