Tulisan ini terinspirasi oleh artikel yang telah ditulis sebelumnya oleh Pak Asep Sopyan di https://asuransibiru.com/asuransi-bukan-jual-beli-uang/ yang menuliskan adanya pendapat yang menyatakan bahwa asuransi (konvensional) itu jual beli uang dan karena itu merupakan riba.
Pak Asep kemudian meng-counter di paragraf selanjutnya bahwa asuransi itu bukan jual beli uang namun jual beli perlindungan keuangan (financial protection) di mana uang dan perlindungan adalah 2 (dua) hal yang berbeda.
Pada prinsipnya, saya sependapat dengan apa yang disampaikan Pak Asep bahwa asuransi itu bukan akad jual beli (yang sering disebut akad tabaduli dalam berbagai literatur asuransi syariah). Sehingga menjadi sebuah pertanyaan: siapa sebenarnya orang yang pertama kali menyatakan bahwa akad asuransi itu adalah jual beli. Apakah orang yang mengaku sebagai ahli asuransi syariah yang hanya sekedar ingin meruntuhkan teori asuransi konvensional yang tidak kompatible dengan ajaran Islam? Ataukah ada muatan sentimen demi kepentingan bisnis?
Mari kita coba kupas masalah ini dari sudut pandang keilmuan, bukan soal semata idealisme tentang muamalah Islam. Karena memvonis suatu perkara mubah menjadi haram juga memiliki konsekuensi hukum yang sama dengan orang yang memvonis suatu perkara haram menjadi mubah.
Pendapat umum yang turun-temurun diperoleh dari literatur yang sudah ada menyatakan bahwa akad asuransi adalah jual beli (tabaduli) di mana seorang pembeli (nasabah) asuransi membayar premi namun belum tentu mendapatkan klaim dengan sebab bahwa peristiwa klaimnya itu sendiri bukan sesuatu yang pasti. Padahal dalam kaidah jual beli, ada uang harus ada barang. Sedangkan dalam praktek asuransi, hal tersebut tidak selalu dapat terwujud: bayar premi belum tentu klaim diterima. Sehingga praktek asuransi dinyatakan sebagai bentuk muamalah yang dilarang karena ‘barang’ (ma’qud ‘alaih)-nya belum tentu dapat diserahterimakan.
Asuransi Tidak Bisa Disamakan dengan Jual Beli Biasa
Orang yang sudah mempelajari mekanisme asuransi tentu sudah faham bahwa seorang nasabah yang membeli polis asuransi itu bukan dalam rangka ‘membeli’ klaim. Konsepnya tidak bisa disamakan dengan proses jual beli barang seperti biasa. Mengutip kembali tulisan Pak Asep Sofyan, “uang dan perlindungan keuangan adalah dua hal yang berbeda.” Beliau menambahkan, “Jika asuransi itu jual beli uang, mestinya setiap orang yang membeli asuransi langsung dapat uang. Tapi faktanya tidak. Bahkan hanya sangat sedikit sekali pembeli asuransi yang benar-benar mendapat uang. Sebagian sangat besar pembeli asuransi tidak mendapat uang sama sekali sampai kontraknya berakhir.” Inilah yang menunjukkan bahwa karakteristik asuransi itu memang bukan seperti jual beli seperti biasa. Selanjutnya disebutkan, “yang mereka beli bukan uang, melainkan perlindungan terhadap uang mereka dari kejadian-kejadian yang dapat membuat uang itu hilang atau berkurang.” Lebih spesifik lagi beliau menyebutkan bahwa yang dibicarakan di sini adalah produk asuransi yang preminya murni digunakan sebagai proteksi. Jadi bukan produk asuransi yang mengandung unsur investasi. Jika berkaitan dengan produk yang mengandung unsur investasi, barulah dapat dicoba ditarik diskusinya pada apakah ada kemungkinan adanya jual beli uang di sana, dan hukumnya tentu bisa menjadi berbeda. Asuransi juga bukan bisnis pinjaman atau utang piutang. Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi bukanlah seperti tabungan yang nantinya akan dapat ditarik kembali oleh nasabah.
Kemudian bisa jadi muncul pertanyaan, misalnya tertanggung baru membayar premi beberapa juta, tapi ketika terjadi risiko, dia mendapatkan uang ratusan juta. Perbedaan nilai seperti ini bukannya bentuk dari riba? Terhadap pertanyaan tsb, Pak Asep Sofyan menyampaikan 2 (dua) hal: (1) Kalau nilainya sama, buat apa ikut asuransi?; (2) Memang seperti itulah lazimnya produk perlindungan. Nilai yang dibayar oleh pengguna akan berbeda (jauh lebih kecil) daripada nilai manfaat yang didapatkan. Hal ini dapat disamakan dengan misal anda membeli antivirus untuk komputer, misalnya 1 juta per tahun, tapi berapa nilai data yang dilindungi di dalam komputer tersebut? Atau anda menggaji satpam untuk berjaga di rumah anda. Berapa anda menggaji satpam? Mungkin beberapa juta tiap bulan, tapi sudah tentu nilai aset yang dijaganya jauh lebih besar. Atau anda membeli helm untuk dipakai saat mengendarai motor. Harga helm hanya beberapa ratus ribu, tapi berapa harga kepala anda?
Atas argumentasi di atas maka pendapat yang menyatakan bahwa dalam aktivitas pembelian polis asuransi terdapat unsur riba dengan menyamakannya dengan akad jual beli biasa, menjadi patut untuk dipertanyakan mengingat bahwa yang diperjualbelikan itu bukan premi vs klaim, namun atas manfaat perlindungan finansial kepada nasabah. Jika pun diklaim bahwa asuransi itu terkena hukum riba, jatuhnya ke riba yang mana: riba jual beli, atau riba utang piutang? Jika riba jual beli, apakah benar ‘pertukaran’ premi vs klaim adalah sifatnya sama dengan pertukaran uang vs uang, sedangkan ada unsur pendahulu lainnya yang mesti terjadi sebelum klaim dibayar yaitu adanya peristiwa musibah. Ini saja sudah memberikan perbedaan mendasar antara pertukaran biasa (mu’awadah) dengan sistem pembayaran klaim dalam praktek asuransi.
